Pulau Pahawang, Objek Wisata Konservasi

Senin, 16 Maret 2009

PULAU Pahawang menjadi satu contoh keberhasilan penyelamatan hutan mangrove di Lampung. Kini, di areal seluas seratusan hektare itu, hutan mangrove yang lestari adalah wisata alam yang membanggakan.

Butuh konsentrasi yang tinggi untuk mengubah dan membentuk kemauan masyarakat agar peduli terhadap keberlangsungan hutan mangrove. Apalagi untuk masyarakat yang hidup di pulau dan relatif awam dengan kata konservasi.

Kini, masyarakat Pulau Pahawang sudah tak lagi menjadi perusak, mereka bahkan sadar betapa hutan mangrove bisa memberikan banyak manfaat kehidupan buat mereka. Kesadaran ini terus dipupuk oleh LSM Mitra Bentala, mulai dari anak-anak Pulau Pahawang.

Setelah kemauan itu mulai timbul dalam benak pribadi-pribadi masyarakatnya, Mitra Bentala bersama pamong desa Pulau Pahawang juga berhasil merumuskan sebuah peraturan desa (perdes) tentang keberlangsungan hutan mangrove di Pulau Pahawang.

Perdes ini mengatur mulai dari pembibitan sampai sanksi jika ada masyarakat atau masyarakat luar yang menebang atau merusak hutan mangrove. Selain itu, masyarakat setempat juga membentuk Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM).

Sekarang, di beberapa sisi Pulau Pahawang sudah "rimbun" dengan pohon bakau. Sebentar lagi pulau seluas 1.084 hektare itu mungkin akan "tenggelam" oleh tebal lebatnya hutan mangrove.

Salim, warga Dusun VI, Desa Pulau Puhawang, antusias bercerita bagaimana lebatnya hutan mangrove di tempatnya kini. "Dulu yang kelihatan cuma jamban milik warga. Sekarang bakaunya sudah tebal sekali, sudah enam meter dari bibir pantai," kata Salim.

Salim kini sudah berubah. Pemuda ini dulunya terkenal sebagai pengebom ikan paling ulung dan penebang pohon bakau paling andal di Pulau Pahawang. Tapi sejak ia melihat betapa ngerinya tsunami di Aceh beberapa tahun silam, ia insyaf total dari mengebom dan menebang bakau, meski harus menutup mata pencariannya.

Salim kini menjadi "ojek laut" anak-anak sekolah sekaligus ngangon kambing. Di pagi hari usai mencari rumput untuk pakan ternaknya, ia tenggelam di dalam lumpur rawa, menanam bibit-bibit bakau, satu per satu dengan teliti. Bibit-bibit bakau yang sudah ditanam sebelumnya pun tak luput dari perhatiannya, ia bahkan tahu setiap inci pertumbuhan pohon bakau yang ditanamnya.

Lain lagi dengan Iswan Hayani, warga Dusun Suakbuah, Pulau Puhawang, yang juga anggota Divisi Pengawasan BPDPM yang baru saja selesai membuat banner berisi imbauan dan larangan. Semua itu dibuat dari modal kantongnya sendiri. "Banner ini nanti dipasang di sekitar hutan mangrove, biar tidak ada lagi yang menebang pohon bakau," kata Iswan Hayani.

Pulau Pahawang adalah gugusan pulau yang ada di sekitar Teluk Pedada, masuk dalam wilayah Kecamatan Punduh Pidada, Pasawaran. Untuk menuju pulau ini, dari Bandar Lampung harus menuju Padang Cermin. Dari suatu pelabuhan rakyat di tempat itu, perahu akan menyeberangkan penumpang ke Pulau Pahawang. Butuh waktu sekitar satu setengah jam dengan armada laut untuk sampai ke pulau lestari itu.

Kontur geografis pulau ini sedikit menjulang karena terdapat bukit batu yang berada tepat di antara permukiman penduduk. Ini yang menjadi pembeda dengan pulau-pulau lain di sekitarnya.

Banyak pula legenda yang berkembang tentang pulau ini, tapi yang terkenal justru legenda Mpok Awang, perempuan keturunan Betawi-China sebagai orang yang pertama kali menemukan dan tinggal di pulau ini pada 1800. Makam yang berada di puncak bukit batu pulau ini juga diyakini sebagai makam Mpok Awang, warga di sini menyebutnya sebagai keramat.

Uniknya, dari legenda Mpok Awang dan makamnya ini juga muncul kearifan lokal (lokal wisdom) dalam benak pribadi-pribadi masyarakatnya untuk tidak mengutak-atik apalagi sampai merambah hutan bukit batu itu karena keramat desa ada di sana. Dan ini menjadi larangan tak tersirat yang masih tetap dipatuhi.

Dari legenda itu, Suprianto dari Mitra Bentala menjelaskan kawasan hutan di puncak bukit itu tetap terjaga, ada manfaat lain dari kearifan lokal tersebut, sebagian air di pulau itu tidak payau apalagi asin, airnya layaknya daratan, terasa tawar. "Ini semua karena hutan masih terjaga dengan baik karena kearifan lokal yang dipatuhi oleh masyarakat Pulau Pahawang," kata Suprianto.

Meski demikian, di era tahun 1970-an hingga 1990-an, Pulau Pahawang terkenal sebagai masyarakat "jahiliah" yang tak kenal kompromi dengan hutan mangrove. Pulau yang ketika penduduknya masih sangat sedikit dengan pohon bakau yang rimbun ini menjadi incaran tak hanya penduduk lokal pulau saja, tapi penduduk luar pulau yang menjadikan Pulau Pahawang sebagai surga batang bakau dan cacing bakau. Dulu, dalam sehari 4.000 batang pohon bakau bisa dihasilkan dari pulau ini.

Iswan Hayani mengenang periode itu sebagai masa kelam. "Pohon bakau habis ditebangi, batangnya diolah untuk kayu atap rumah, akarnya dicabut untuk mengambil cacing-cacing yang ada di bawah akar bakau untuk dijual sebagai pakan," kenang Iswan.

Keadaan ini baru berhenti setelah pohon bakau nyaris habis tak tersisa di Pulau Pahawang, penduduk banyak merasakan dampaknya, air laut sering pasang hingga ke rumah-rumah penduduk, angin barat yang membawa gelombang cukup besar juga kerap mengkhawatirkan.

Satu lagi yang mengerikan, nyamuk malaria ganas menyerang penduduk karena habitatnya gundul dan akhirnya hijrah ke permukiman penduduk, banyak warga yang terjangkit penyakit Malaria Tropical. Cerita ini menjadi semakin pilu manakala harus ada korban jiwa yang terenggut dari efek mangrove ini.

Pelan-pelan di tahun 1999, LSM lingkungan Mitra Bentala masuk untuk mendampingi masyarakat Pulau Pahawang, bersama-sama membangun kembali lingkungan hutan mangrove di Pulau Pahawang. Setahap demi setahap proses pendampingan ini mulai menuai hasil, meski terkadang sulit karena harus mengubah total mata pencarian masyarakat setempat.

"Masyarakat sudah merasakan dampaknya, ketika lingkungan mereka rusak, dan kini ada keinginan kuat dari mereka untuk mengubah sikap itu ke arah yang lebih baik, dan kami bangga atas sikap masyarakat ini," kata Suprianto dari Mitra Bentala.

Tak hanya itu saja, Mitra Bentala juga berupaya menyisipkan kegiatan luar sekolah untuk anak-anak penerus Pulau Pahawang dengan memberikan kegiatan penanaman pohon bakau untuk anak-anak kelas III, IV, dan V sekolah dasar. Upaya learning by doing (belajar secara langsung, red) ini dimulai dari menanam, memberikan nama untuk bibit bakau yang mereka tanam sampai mengawasi pertumbuhan bibit bakau.

Kegiatan luar sekolah yang semula menjadi kegiatan nonformal, kini sudah menjadi ekstrakurikuler tersendiri, sampai akhirnya anak-anak Pulau Pahawang memiliki kelompok sendiri, yakni Anak Pecinta Lingkungan (APL), dengan jumlah tanam bibit bakau yang telah dilakukan sebanyak 3.000 batang.

Untuk ukuran anak usia dini, hal ini menjadi upaya pembentukan sikap mereka di masa depan tentang pentingnya sebatang pohon bakau yang mereka tanam, untuk pulau mereka. n MEZA SWASTIKA/M-1

(Tulisan Kedua)

'Mangrove' Pahawang untuk Bahan Penelitian

Di Bali, sebatang pohon bakau mampu menarik minat seribu orang turis bahkan bisa lebih. Dan itu menjadi mimpi masyarakat Pulau Pahawang. Mereka tak lagi ingin mencari uang dengan merusak lingkungan, tapi dengan menjual kekayaan jenis hutan mangrove yang ada di pulau tersebut sebagai wisata penelitian hutan mangrove.

Sekarang, masyarakat Pulau Pahawang memiliki sekitar 30 hektare zona inti hutan mangrove. Sistem zonasi ini untuk memetakan mana kawasan hutan mangrove yang bisa dimanfaatkan dan kawasan mana yang dilarang untuk dimanfaatkan kecuali untuk perlindungan.

Masyarakat pun membuat kesepakatan membentuk Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) di bawah supervisi langsung Mitra Bentala. Badan ini diberikan pemahaman pengelolaan sampai pengawasan hutan mangrove.

Hasilnya, tingkat ketebalan hutan mangrove di Pulau Pahawang ini pun bervariasi mulai dari 4 meter hingga 10 meter dari bibir pantai. "Kita sedang mengarah ke pemanfaatan hutan mangrove sebagai kawasan wisata penelitian dengan model pengelolaan sepenuhnya oleh masyarakat, termasuk hasil yang didapat nanti," kata Suprianto dari Mitra Bentala.

Pada dasarnya, hutan mangrove tak melulu didominasi oleh pohon bakau sebagai satu-satunya vegetasi pesisir yang hidup dan harus dilindungi. Menurut Suprianto, terdapat sedikitnya 22 jenis vegetasi hutan mangrove yang dikembangkan di Pulau Pahawang. Yang ada di Pulau Puhawang sekarang adalah bakau besar, bakau kecil, bakau tinggi, bogem, nipah dan waru laut.

Meski demikian, vegetasi tanaman bakau atau yang memiliki nama latin Rhizopora sp. ini memang menjadi objek utama penarik perhatian wisatawan untuk datang meneliti vegetasi pohon bakau.

Selembar daun pohon bakau yang jatuh ke laut, mampu menetralisasi air laut dari pencemaran yang ditimbulkan oleh nelayan, limbah rumah tangga sampai limbah tambak udang.

Di kawasan vegetasi hutan mangrove juga bisa banyak dijumpai hewan-hewan laut langka yang sekarang sudah sangat jarang dijumpai di sekitar Teluk Lampung karena sabuk hijaunya habis untuk tambak udang dan permukiman maupun wisata konvensional biasa. Pada habitat hutan mangrove yang masih alami bisa dengan mudah dijumpai hewan sejenis berang-berang, mangrove jack, ikan khas yang hanya ada di hutan mangrove.

Termasuk penelitian yang lebih ekstrem, yakni nyamuk Anopheles penyebab penyakit malaria, yang menjadikan hutan mangrove sebagai habitat serangga ini. Apalagi sebagian gugusan pulau di Teluk Pedada termasuk Pulau Pahawang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan sebagai pusat populasi nyamuk penyebab malaria terbesar kedua di Indonesia, setelah Irian Jaya.

Di sisi lain, buah pohon bakau juga menjadi penganan utama sekawanan monyet yang ada di Pulau Pahawang ini. Atau menjajal keunikan makanan lain, yakni dodol bakau, penganan baru hasil kreasi kerajinan ibu rumah tangga yang ada di Pulau Pahawang. Dodol ini berbahan baku utama buah pohon bakau, rasanya tak kalah dengan dodol durian atau lempok durian.

Awalnya, minat penelitian terhadap hutan mangrove ini muncul pascagelombang besar tsunami yang hampir meluluhlantakkan sebagian besar daerah kepulan di Samudera Hindia.

Seperti di Nangroe Aceh Darussalam, gelombang tsunami begitu banyak menimbulkan korban jiwa dan materi karena punahnya hutan mangrove. Kepunahan itu membuat mainland tak lagi mampu menahan kuatnya gelombang.

Kondisi kepulauan Aceh yang berhadapan langsung dengan laut lepas juga membuat tingkat kerusakan akibat tsunami cukup masif. Ketiadaan pulau terluar lain membuat konsentrasi gelombang tsunami tidak bisa terpecah sehingga tak heran jika gelombang setinggi pohon kelapa menerjang Aceh hanya dengan hitungan menit saja. n MEZA SWASTIKA/M-1

Sumber : Lampung Post - 15-03-2009

Artikel yang Berhubungan



0 komentar:

  © Budaya Lampung Atrium by Artikel 2008 info terkini info terkini

Back to TOP