Esai: Matinya 'Penyimbang' Adat
Minggu, 22 Februari 2009
NAPAKTILAS rombongan penyimbang dipimpin Alhusniduki Hamim dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dengan anggota Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., Dewan Kesenian Lampung, beberapa elemen sosial, politik dan kultural masyarakat Lampung lainnya ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat beberapa bulan lalu, telah membuat banyak pihak bertanya-tanya tentang pergeseran konsep kepenyimbangan dalam realitas kultural masyarakat Lampung.
MPAL bukanlah representasi seluruh masyarakat adat Lampung. Bahkan, kepenyimbangan Alhusniduki Hamim, kalaupun benar dia seorang penyimbang, hanya berlaku untuk marganya sendiri. Ketika Alhusniduki Hamim datang ke Cirebon dalam kapasitas sebagai penyimbang, dia tidak bisa mengatakan dirinya sebagai representasi seluruh masyarakat Lampung.
Ada banyak marga yang hidup di Provinsi Lampung dan masing-masing memiliki penyimbang yang tidak ada kaitan dengan penyimbang dari marga lain. Kepenyimbangan adalah konsep dalam strata sosial yang didapat dari hubungan darah (clan). Bagi masyarakat Lampung, kepeyimbangan seseorang dalam suatu marga, tidak berlaku bagi marga lain.
Penyimbang marga di Lampung adalah tokoh yang dituakan dalam sebuah marga, sebutan lain dari keluarga. Secara sosial, marga mengacu pada sekelompok orang yang berasal dari satu keluarga besar.
Dalam adat Lampung yang patrilinear, marga dilihat dari garis ayah. Karena itu, dari satu marga dalam adat Lampung, selalu ada yang disebut penyimbang. Penyimbang bisa diartikan sebagai orang yang dituakan dalam marga itu. Orang tersebut sesuai garis keturunan ayah (patrilinear), berada dalam posisi sebagai anak tertua. Dialah yang kemudian disebut sebagai penyimbang.
Dari pengertian penyimbang ini, posisi seorang penyimbang cuma berlaku dalam marga dia sendiri. Penyimbang dari marga A, tidak serta-merta menjadi penyimbang untuk marga lain. Sebab itu, penunjukan Alhusniduki Hamim sebagai representasi penyimbang Lampung telah mengubah makna konsep penyimbang yang sebenarnya.
Tanpa disadari, hal ini sekaligus mengabaikan marga-marga yang selama ini hidup dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan masyarakat Lampung.
Politik Budaya Para Elite
Kedatangan rombongan napaktilas ke Keraton Kacirebonan menjadi bukti bahwa konsep penyimbang dalam lingkungan kultural masyarakat Lampung sudah "mati". Sebab itu, segala output yang diharapkan rombongan napaktilas itu tidak akan membawa hasil positif terhadap hubungan antara Lampung dengan Cirebon.
Hubungan yang dijalin penyimbang Alhusniduki Hamim adalah hubungan antara marganya dan masyarakat Cirebon. Bukan hubungan antara masyarakat Lampung dan masyarakat Cirebon. Masyarakat marga di luar marga yang memosisikan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang, tidak akan menganggap hubungan ini sebagai sesuatu yang penting.
Napaktilas yang dilakukan ke Cirebon itu menjadi mubazir. Tidak berlebihan bila banyak pihak memandangnya sebagai pemborosan terhadap dana rakyat yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Lembaga Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).
Karena, dana APBD dipergunakan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan sebagian kecil dari rakyat Lampung yang tergabung dalam marga Alhusniduki Hamim.
Kondisi ini terjadi karena rendahnya kualitas pemahaman terhadap budaya warisan leluhur masyarakat Lampung. Barangkali akibat tidak adanya penelitian yang konprehensif atas kebudayaan tinggi ini.
Lampung termasuk kebudayaan tinggi dalam peta kebudayaan Nusantara dan internasional karena kebudayaan Lampung sudah mengenal aksara sendiri, yakni ka-gha-nga. Namun, tingkat kesadaraan berbudaya masyarakat Lampung sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan negara, sangat tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan pemerintah negara tertinggi di daerah.
Sebagai sebuah provinsi, arah pembangunan kebudayaan di Lampung selama puluhan tahun sangat tergantung kepada siapa yang menjadi kepala daerah. Ketika Oemarsono menjadi gubernur Lampung, dia menetapkan sendiri sekelompok orang sebagai penyimbang yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah lembaga bernama Sekbermal.
Sekbermal acap mengklaim diri sebagai representasi dari masyarakat adat Lampung, padahal sebetulnya hal itu menunjukkan betapa mereka tidak paham adat-istiadat Lampung.
Seorang gubernur atau bupati/wali kota, yang merupakan seorang penyimbang dalam marganya, tidak bisa mengaku sebagai penyimbang seluruh marga yang ada di daerahnya. Orang tersebut hanya menjadi penguasa pemerintahan, bukan penguasa kebudayaan.
Hal serupa juga terjadi saat penyimbang Alhusniduki Hamim memosisikan diri sebagai representasi masyarakat adat Lampung. Seandainya Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. yang memosisikan diri sebagai penyimbang saat berangkat ke Cirebon, tidak ada alasan bagi dirinya untuk mengaku sebagai representasi seluruh marga yang ada di Lampung, meskipun dia merupakan representasi seluruh masyarakat Lampung.
Tingkat pemahaman dan kesadaran berbudaya elite-elite pemerintah daerah bukan saja rendah, melainkan sangat tergantung pada kepentingan politik atas penancapan nilai-nilai hagemonik. Integritas kebudayaan senantiasa dipahami sebagai integritas politik.
Karena, kesadaran budaya di provinsi ini sekaligus menjadi paradigma kultural. Ketika seseorang dari salah satu kelompok marga menjadi elite pemerintah, secara sengaja mereka akan berupaya agar nilai-nilai kultur kemargaannya menjadi universal untuk semua marga yang ada di Lampung.
Ada upaya untuk mengubah paradigma kebudayaan, dimana keseluruhan alam pikiran masyarakat Lampung diubah sudut pandanganya menjadi sesuai dengan sudut pandang dan penglihatan politik dari elite pemerintah tersebut.
Dalam kebudayaan Lampung, konsep bejuluk adek (pengangkatan saudara) yang ditandai dengan pemberian gelar kepada orang dari luar marga bahkan kebudayaan berbeda, menjadi alat untuk mengubah paradigma kultural.
Begitu Sjachroedin Z.P. menjadi gubenrur Lampung, dia membuat gawi adat yang tujuannya mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai keluarga masyrakat Lamung, meskipun hal itu hanya berarti bagi marga yang diyakini Sjachroedin Z.P. sendiri.
Pergeseran Paradigma
Realitas elite pemerintahan di provinsi yang menganggap bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai budaya tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan di daerah, merupakan warisan dari kolonialisme Belanda. Pasca keberhasilan menghentikan perlawanan Radin Intan II, ketika Pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat Lampung secara universal. Sebab itu, diterapkanlah strategi baru dengan memperkenalkan konsep negara kepada masyarakat tradisional.
Seluruh kelompok marga yang ada di Lampung dikumpulkan lewat representasi seluruh penyimbang marga. Kepada para penyimbang diperkenalkan konsep prowatin sebagai upaya menata satu sistem pemerintahan negara yang dimulai pada tingkat suku (dusun/umbul).
Tata pemerintahan ini didesain di atas azas kekerabatan dengan tingkat kekerabatan yang terdiri dari: (1) Perserikatan antarmarga (Prowatin Gabungan Penyimbang Marga). (2) Marga (Prowatin Penyimbang Satu Marga). (3) Tiyuh/Pekon (kampung/desa) (Prowatin Penyimbang Tiyuh/Pekon. (4) Suku (Prowatin Penyimbang Suku).
Sebagaimana dalam konsep pemerintahan desa saat ini, prowatin diberi wewenang untuk mengatur jalanannya proses sosial politik di lingkungan masyarakat. Agar tata kerja prowatin bisa dikendalikan Pemerintah Hindia Belanda, para prowatin yang ditunjuk dipenuhi semua keinginannya dan diberi fasilitas yang membuatnya stratifikasi sosialnya terangkat di mata masyarakat yang dipimpinnya.
Namun, para prowatin harus menunjukkan kepatuhan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan mengikuti aturan main yang disusun dan dibuat sebagai kitab hukum yang mengatur seluruh masyarakat prowatin secara sosial.
Kitab hukum yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda tak lain adalah terjemahan dari Kuntagha Ghajaniti (Kuntara Rajaniti) yang disesuaikan untuk masing-masing marga, dimana sejumlah pasal yang dapat merugikan Pemerintah Hindia Belanda dihapus dan diganti dengan pasal-pasal yang menguntngkan kolonialisme.
Bahkan, demi memperkuat hegemoni di lingkungan sosial politik dan kultur masyarakat Lampung, Pemerintah Hindia Belanda mengubah sanksi dalam pelanggaran pasal-pasal yang semestinya berupa sanksi sosial dengan mata uang Golden.
Dalam beberapa kitab yang masih disimpan masyarakat Lampung, meskipun kitab itu dalam bahasa Lampung tetapi ditulis dengan aksara Latin atau Arab, sanksi dalam setiap pasal masih dalam bentuk mata uang Golden.
Bahkan, pada beberapa marga Lampung, kitab Kuntagha Ghajaniti diserap menjadi kitab baru yang diberi nama Cempalo. Kitab ini tak berbeda dengan kitab Kuntagha Ghajaniti, tetapi lebih banyak dipergunakan oleh masyarakat Lampung yang tidak tinggal di pesisir.
Dampak politik adu domba Belanda masih terasa hingga sekarang, antara Saibatin dengan Pepadun sulit disatupadukan. Untuk mengakomodasi perbedaan itu, Provinsi Lampung lebih dikenal dengan sebutan Sai Bumi Ghua Jughai, sebuah daerah yang memiliki dua kelompok masyarakat adat.
Kenyataannya, konsep Sai Bumi Ghua Jughai (Negeri Ruwa Jurai) muncul karena pemerintah daerah tidak berhasil membangun sebuah asimilasi kultural antara dua subkultur yang ada.
Setiap subkultur senantiasa berpolemik terkait hal-ihwal identitas dalam produk-produk kebudayaan dan masing-masing mengklaim hal-ihwal identitasnya sebagai paling representatif untuk menjadi identitas masyarakat lampung.
Kesimpulan dari setiap polemik selalu saja "tak ada yang bisa disimpulkan" karena semua identitas yang bertebaran di lingkungan masyarakat memiliki argumentasi yang cocok dan pas untuk menjadi representasi Lampung. Setiap kelompok tidak pernah berjiwa besar untuk mengakui bahwa semua identitas yang ada bisa menjadi representasi Lampung.
Karena keyakinan itu, setiap kelompok akhirnya hanya memikirkan bagaimana caranya agar identitas yang dimilikinya mendapat pengakuan secara luas sebagai orientasi masyarakat Lampung. Dengan cara berpikir seperti itu, mereka memosisikan identitas kelompok lain sebagai lian (the other), sesuatu yang tak perlu diperhatikan apalagi dipikirkan. Mereka malah berharap identitas di luar identitasnya harus dipunahkan agar kelompok-kelompok pemilik identitas bersangkutan bisa mengubah orientasinya.
Penetapan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang yang merupakan representasi masyarakat Lampung adalah salah satu upaya untuk memosisikan kelompok marga lain sebagai lain (the other). Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena akan berulang setiap tahun apabila terjadi pergantian kepala daerah. n
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Mei 2007
MPAL bukanlah representasi seluruh masyarakat adat Lampung. Bahkan, kepenyimbangan Alhusniduki Hamim, kalaupun benar dia seorang penyimbang, hanya berlaku untuk marganya sendiri. Ketika Alhusniduki Hamim datang ke Cirebon dalam kapasitas sebagai penyimbang, dia tidak bisa mengatakan dirinya sebagai representasi seluruh masyarakat Lampung.
Ada banyak marga yang hidup di Provinsi Lampung dan masing-masing memiliki penyimbang yang tidak ada kaitan dengan penyimbang dari marga lain. Kepenyimbangan adalah konsep dalam strata sosial yang didapat dari hubungan darah (clan). Bagi masyarakat Lampung, kepeyimbangan seseorang dalam suatu marga, tidak berlaku bagi marga lain.
Penyimbang marga di Lampung adalah tokoh yang dituakan dalam sebuah marga, sebutan lain dari keluarga. Secara sosial, marga mengacu pada sekelompok orang yang berasal dari satu keluarga besar.
Dalam adat Lampung yang patrilinear, marga dilihat dari garis ayah. Karena itu, dari satu marga dalam adat Lampung, selalu ada yang disebut penyimbang. Penyimbang bisa diartikan sebagai orang yang dituakan dalam marga itu. Orang tersebut sesuai garis keturunan ayah (patrilinear), berada dalam posisi sebagai anak tertua. Dialah yang kemudian disebut sebagai penyimbang.
Dari pengertian penyimbang ini, posisi seorang penyimbang cuma berlaku dalam marga dia sendiri. Penyimbang dari marga A, tidak serta-merta menjadi penyimbang untuk marga lain. Sebab itu, penunjukan Alhusniduki Hamim sebagai representasi penyimbang Lampung telah mengubah makna konsep penyimbang yang sebenarnya.
Tanpa disadari, hal ini sekaligus mengabaikan marga-marga yang selama ini hidup dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan masyarakat Lampung.
Politik Budaya Para Elite
Kedatangan rombongan napaktilas ke Keraton Kacirebonan menjadi bukti bahwa konsep penyimbang dalam lingkungan kultural masyarakat Lampung sudah "mati". Sebab itu, segala output yang diharapkan rombongan napaktilas itu tidak akan membawa hasil positif terhadap hubungan antara Lampung dengan Cirebon.
Hubungan yang dijalin penyimbang Alhusniduki Hamim adalah hubungan antara marganya dan masyarakat Cirebon. Bukan hubungan antara masyarakat Lampung dan masyarakat Cirebon. Masyarakat marga di luar marga yang memosisikan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang, tidak akan menganggap hubungan ini sebagai sesuatu yang penting.
Napaktilas yang dilakukan ke Cirebon itu menjadi mubazir. Tidak berlebihan bila banyak pihak memandangnya sebagai pemborosan terhadap dana rakyat yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Lembaga Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).
Karena, dana APBD dipergunakan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan sebagian kecil dari rakyat Lampung yang tergabung dalam marga Alhusniduki Hamim.
Kondisi ini terjadi karena rendahnya kualitas pemahaman terhadap budaya warisan leluhur masyarakat Lampung. Barangkali akibat tidak adanya penelitian yang konprehensif atas kebudayaan tinggi ini.
Lampung termasuk kebudayaan tinggi dalam peta kebudayaan Nusantara dan internasional karena kebudayaan Lampung sudah mengenal aksara sendiri, yakni ka-gha-nga. Namun, tingkat kesadaraan berbudaya masyarakat Lampung sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan negara, sangat tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan pemerintah negara tertinggi di daerah.
Sebagai sebuah provinsi, arah pembangunan kebudayaan di Lampung selama puluhan tahun sangat tergantung kepada siapa yang menjadi kepala daerah. Ketika Oemarsono menjadi gubernur Lampung, dia menetapkan sendiri sekelompok orang sebagai penyimbang yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah lembaga bernama Sekbermal.
Sekbermal acap mengklaim diri sebagai representasi dari masyarakat adat Lampung, padahal sebetulnya hal itu menunjukkan betapa mereka tidak paham adat-istiadat Lampung.
Seorang gubernur atau bupati/wali kota, yang merupakan seorang penyimbang dalam marganya, tidak bisa mengaku sebagai penyimbang seluruh marga yang ada di daerahnya. Orang tersebut hanya menjadi penguasa pemerintahan, bukan penguasa kebudayaan.
Hal serupa juga terjadi saat penyimbang Alhusniduki Hamim memosisikan diri sebagai representasi masyarakat adat Lampung. Seandainya Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. yang memosisikan diri sebagai penyimbang saat berangkat ke Cirebon, tidak ada alasan bagi dirinya untuk mengaku sebagai representasi seluruh marga yang ada di Lampung, meskipun dia merupakan representasi seluruh masyarakat Lampung.
Tingkat pemahaman dan kesadaran berbudaya elite-elite pemerintah daerah bukan saja rendah, melainkan sangat tergantung pada kepentingan politik atas penancapan nilai-nilai hagemonik. Integritas kebudayaan senantiasa dipahami sebagai integritas politik.
Karena, kesadaran budaya di provinsi ini sekaligus menjadi paradigma kultural. Ketika seseorang dari salah satu kelompok marga menjadi elite pemerintah, secara sengaja mereka akan berupaya agar nilai-nilai kultur kemargaannya menjadi universal untuk semua marga yang ada di Lampung.
Ada upaya untuk mengubah paradigma kebudayaan, dimana keseluruhan alam pikiran masyarakat Lampung diubah sudut pandanganya menjadi sesuai dengan sudut pandang dan penglihatan politik dari elite pemerintah tersebut.
Dalam kebudayaan Lampung, konsep bejuluk adek (pengangkatan saudara) yang ditandai dengan pemberian gelar kepada orang dari luar marga bahkan kebudayaan berbeda, menjadi alat untuk mengubah paradigma kultural.
Begitu Sjachroedin Z.P. menjadi gubenrur Lampung, dia membuat gawi adat yang tujuannya mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai keluarga masyrakat Lamung, meskipun hal itu hanya berarti bagi marga yang diyakini Sjachroedin Z.P. sendiri.
Pergeseran Paradigma
Realitas elite pemerintahan di provinsi yang menganggap bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai budaya tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan di daerah, merupakan warisan dari kolonialisme Belanda. Pasca keberhasilan menghentikan perlawanan Radin Intan II, ketika Pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat Lampung secara universal. Sebab itu, diterapkanlah strategi baru dengan memperkenalkan konsep negara kepada masyarakat tradisional.
Seluruh kelompok marga yang ada di Lampung dikumpulkan lewat representasi seluruh penyimbang marga. Kepada para penyimbang diperkenalkan konsep prowatin sebagai upaya menata satu sistem pemerintahan negara yang dimulai pada tingkat suku (dusun/umbul).
Tata pemerintahan ini didesain di atas azas kekerabatan dengan tingkat kekerabatan yang terdiri dari: (1) Perserikatan antarmarga (Prowatin Gabungan Penyimbang Marga). (2) Marga (Prowatin Penyimbang Satu Marga). (3) Tiyuh/Pekon (kampung/desa) (Prowatin Penyimbang Tiyuh/Pekon. (4) Suku (Prowatin Penyimbang Suku).
Sebagaimana dalam konsep pemerintahan desa saat ini, prowatin diberi wewenang untuk mengatur jalanannya proses sosial politik di lingkungan masyarakat. Agar tata kerja prowatin bisa dikendalikan Pemerintah Hindia Belanda, para prowatin yang ditunjuk dipenuhi semua keinginannya dan diberi fasilitas yang membuatnya stratifikasi sosialnya terangkat di mata masyarakat yang dipimpinnya.
Namun, para prowatin harus menunjukkan kepatuhan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan mengikuti aturan main yang disusun dan dibuat sebagai kitab hukum yang mengatur seluruh masyarakat prowatin secara sosial.
Kitab hukum yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda tak lain adalah terjemahan dari Kuntagha Ghajaniti (Kuntara Rajaniti) yang disesuaikan untuk masing-masing marga, dimana sejumlah pasal yang dapat merugikan Pemerintah Hindia Belanda dihapus dan diganti dengan pasal-pasal yang menguntngkan kolonialisme.
Bahkan, demi memperkuat hegemoni di lingkungan sosial politik dan kultur masyarakat Lampung, Pemerintah Hindia Belanda mengubah sanksi dalam pelanggaran pasal-pasal yang semestinya berupa sanksi sosial dengan mata uang Golden.
Dalam beberapa kitab yang masih disimpan masyarakat Lampung, meskipun kitab itu dalam bahasa Lampung tetapi ditulis dengan aksara Latin atau Arab, sanksi dalam setiap pasal masih dalam bentuk mata uang Golden.
Bahkan, pada beberapa marga Lampung, kitab Kuntagha Ghajaniti diserap menjadi kitab baru yang diberi nama Cempalo. Kitab ini tak berbeda dengan kitab Kuntagha Ghajaniti, tetapi lebih banyak dipergunakan oleh masyarakat Lampung yang tidak tinggal di pesisir.
Dampak politik adu domba Belanda masih terasa hingga sekarang, antara Saibatin dengan Pepadun sulit disatupadukan. Untuk mengakomodasi perbedaan itu, Provinsi Lampung lebih dikenal dengan sebutan Sai Bumi Ghua Jughai, sebuah daerah yang memiliki dua kelompok masyarakat adat.
Kenyataannya, konsep Sai Bumi Ghua Jughai (Negeri Ruwa Jurai) muncul karena pemerintah daerah tidak berhasil membangun sebuah asimilasi kultural antara dua subkultur yang ada.
Setiap subkultur senantiasa berpolemik terkait hal-ihwal identitas dalam produk-produk kebudayaan dan masing-masing mengklaim hal-ihwal identitasnya sebagai paling representatif untuk menjadi identitas masyarakat lampung.
Kesimpulan dari setiap polemik selalu saja "tak ada yang bisa disimpulkan" karena semua identitas yang bertebaran di lingkungan masyarakat memiliki argumentasi yang cocok dan pas untuk menjadi representasi Lampung. Setiap kelompok tidak pernah berjiwa besar untuk mengakui bahwa semua identitas yang ada bisa menjadi representasi Lampung.
Karena keyakinan itu, setiap kelompok akhirnya hanya memikirkan bagaimana caranya agar identitas yang dimilikinya mendapat pengakuan secara luas sebagai orientasi masyarakat Lampung. Dengan cara berpikir seperti itu, mereka memosisikan identitas kelompok lain sebagai lian (the other), sesuatu yang tak perlu diperhatikan apalagi dipikirkan. Mereka malah berharap identitas di luar identitasnya harus dipunahkan agar kelompok-kelompok pemilik identitas bersangkutan bisa mengubah orientasinya.
Penetapan Alhusniduki Hamim sebagai penyimbang yang merupakan representasi masyarakat Lampung adalah salah satu upaya untuk memosisikan kelompok marga lain sebagai lain (the other). Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena akan berulang setiap tahun apabila terjadi pergantian kepala daerah. n
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Mei 2007
0 komentar:
Posting Komentar