'Piil Pesenggiri': Semangat Kelampungan
Sabtu, 14 November 2009
Direktur Eksekutif Jung Foundation Lampung Heritage, penghayat kearifan lokal
Suku bangsa Lampung dalam jejak rekam sejarah tercatat sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Fakta ini bisa disigi dan tercermin dari warisan kebudayaan yang dimiliki ulun--sebutan untuk orang--Lampung baik yang teraga (tangible) maupun tak teraga (intangible).
Suku bangsa Lampung memiliki aksara baca-tulis yang bernama kaganga. Memiliki bahasa daerah dalam dua dialek nyow dan api, tatanan acuan pemerintahan dalam kitab Kuntara Raja Niti (Kitab Hukum Tata Negara), tradisi, arsitektur, sastra serta adat istiadat yang terus bertumbuhkembang turun-temurun.
Bagaimana posisi kebudayaan Lampung dalam pergaulan kampung global kini? Apakah Lampung dengan kekayaan ikon budaya dan kearifan lokalnya bisa ikut menyumbang dan mewarnai kebudayaan global. Atau sebaliknya, Lampung justru tenggelam dalam ikon modernitas dan budaya lokalnya tergerus dan menuju kepunahan?
Budayawan Lampung Anshori Djausal menengarai konservasi budaya Lampung berjalan dinamis. Namun, dia juga tak kalah khawatir dan mengingatkan kalau saat ini eksistensi kebudayaan Lampung dihadapkan pada dua tantangan besar.
Secara internal, kita kekeringan pemikiran dan upaya pelestarian budaya, pelaku budaya yang terbatas, pewarisan yang tersendat, banyak generasi muda yang kurang peduli, keterbatasan sarana, dana, lemahnya database, dan rapuhnya kelembagaan adat.
Sedangkan secara eksternal, budaya Lampung dihadapkan pada serbuan budaya global melalui koran, radio, internet, dan televisi yang leluasa masuk ke ruang privasi kita. (Lampung Post, 31 Oktober 2009).
Memang, benar apa yang dikatakan Anshori, kalau kebudayaan Lampung ingin tetap eksis harus menggiatkan konservasi yang lebih terarah, punya visi, dan misi yang jelas.
Menurut pengamatan penulis selama ini yang terjadi langkah konservasi dan pelestarian yang dilakukan oleh berbagai dinas dan lembaga-lembaga terkesan berjalan sendiri-sendiri, bahkan sering tumpang tindih programnya.
Program-program yang ditaja dinas dan lembaga dalam upaya pelestarian terkesan hanya copy-paste dan sasarannya hanya itu ke itu saja. Bisa jadi ini karena lemahnya koordinasi antara stakeholder atau miskinnya pemikiran para decicion maker dalam membuat program yang tepat sasaran sehingga asal proyek berjalan mulus dan tahun depan kembali APBD tetap bergulir.
Konservasi budaya Lampung bisa dilakukan bersama-sama dan bersinergi. Selain enam aspek yang ditawarkan Anshori Djausal dalam upaya konservasi budaya Lampung, penulis juga punya beberapa catatan yang bisa dijadikan acuan.
Langkah yang paling penting saat ini, kalau memang punya niatan untuk melakukan konservasi budaya Lampung dengan serius adalah memperkuat database dan membangun jejaring antarlembaga terkait dan pemangku kepentingan (stakeholder) baik yang ada di Lampung maupun di luar Lampung yang concern kepada kebudayaan (kesenian) Lampung.
Langkah selanjutnya, perlunya menginventarisasi para pelaku budaya Lampung dibarengi dengan membangun kantung-kantung kesenian di kampung-kampung atau tiyuh. Ini sekaligus bisa dipetakan sanggar-sanggar. Lembaga adat dan para pelaku budaya yang masih aktif. Kantung kebudayaan (kesenian) ini juga dapat dijadikan wadah pewarisan tradisi, kesenian, budaya, dan adat berlangsung.
Secara berkala bisa digelar festival budaya dan seni tradisi di situsnya, seperti yang dilakukan Soetanto Mendut dengan Festival Lima Gunungnya di kawasan Lembah Tidar, Magelang. Sehingga kantung-kantung kesenian (budaya) ini bisa bertumbuh kembang dan dijadikan destinasi wisata yang unik dan muaranya akan memakmurkan para pelaku budaya dan masyarakat setempat.
Penguatan Lembaga
Penguatan lembaga kesenian dan kebudayaan ini merupakan salah satu langkah penting. Lembaga-lembaga yang concern dengan budaya Lampung harus duduk satu meja sehingga tak jalan sendiri seperti selama ini menggodok konsep konservasi budaya yang bisa digarap bersama dan saling mengisi.
Menurut pengamatan penulis yang terjadi selama ini banyak bendera organisasi yang berkibar mengusung tagline budaya dan kesenian Lampung sebagai ladang pergerakan. Namun, kiprah lembaganya tak jelas, bahkan banyak yang hanya sekadar papan nama.
Bahkan, akhir-akhir ini ditengarai beberapa lembaga kebudayaan (kesenian) sudah ikut larut dalam politik praktis. Fenomena ini bisa dilihat jika ada helat pilkada digelar di daerah.
Sekali lagi, penguatan lembaga ini sangat penting, karena lembaga yang profesional dan punya jejaring baik regional maupun internasional bisa menjadi sarana membawa budaya Lampung ke arena pergaulan kampung global. Penguatan lembaga bisa dilakukan baik dari segi administrasi maupun manajemen bisa menjadi bargaining power untuk fundrising dan mencari funding dalam menghidupi organisasi.
Ke depan penting digagas lahirnya lembaga Lampungologi--lembaga kebudayaan yang benar-benar berkosentrasi pada budaya Lampung. Lembaga ini tak harus lahir dari kalangan kampus (akedemisi), tetapi bisa dari kalangan independen terdiri dari budayawan, intelektual, peneliti, dan seniman.
'The Spirit of Lampung'
Selama ini konservasi budaya Lampung berjalan baru sebatas wadag belum menyentuh ruhnya. Lihat saja pada proyek mercusuar Menara Siger, gedung-gedung kantor yang berornamen Lampung dan pakaian adat Lampung yang sesekali dipakai para pejabat dalam acara-acara protokoler.
Tetapi apakah orang Lampung sudah memiliki semangat kelampungan dalam jiwanya? Kalau, ya, tak bakalan terjadi Hadiah Sastra Rancage 2009 lepas dari tangan Lampung, karena tak ada satu pun buku sastra Lampung yang ikut serta dalam seleksi.
Dan, alasannya pun sangat memprihatinkan tak ada penerbit di Lampung yang merilisnya. Di mana piil kita? Sementara miliaran rupiah menggelontor dalam kancah pilkada. Tak satu pun buku sastra Lampung yang terbit sepanjang 2008.
Padahal, orang Lampung sebagai salah satu masyarakat memiliki peradaban tinggi mempunyai falsafah hidup sebagai refleksi atas kesemestaan. Masyarakat adat Lampung pun punya piil pesenggiri, etos dan semangat kelampungan (the spirit of Lampung) sebagai dasar filosofinya.
Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri ini mendorong orang bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.
Orang Lampung Pesisir menyebut: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras); bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).
Lampung Pepadun menyebut: piil pesenggiri (prinsip kehormatan); juluk adek (prinsip keberhasilan); nemui nyimah (prinsip penghargaan); nengah nyappur (prinsip persamaan); dan sakai sambayan (prinsip kerja sama).
Kearifan lokal ulun Lampung yang terkandung dalam semangat kelampungan piil pesenggiri ini bisa dijadikan modal dalam melakukan konservasi budaya Lampung.
Falsafah ini pula yang harus menginpirasi dan menjadi spirit dalam mengonservasi budaya Lampung yang sasarannya tak sekadar wadak, tetapi jiwa. Etos kerja dan spirit of Lampung (semangat kelampungan) piil pesenggiri harus terus digelorakan untuk membangun eksistensi budaya Lampung di tengah kampung global. Kalau Lampung tak ingin tenggelam, dengan semangat piil pesenggiri, kita harus berpikir lokal dan bertindak global. Begitu, Puaghi!
Christian Heru Cahyo Saputro
(sumber-lampung post)
0 komentar:
Posting Komentar