Pendidikan sebagai Strategi Kebudayaan

Minggu, 15 November 2009

MARX sought to change the world through changing social institutions, Jesus through changing the hearts of men. Education tries to do both. (Howard R Bowen, Investment in Learning, 1997)
KUTIPAN di atas menegaskan pendidikan merupakan instrumen penting dan strategis untuk mendorong perubahan sosial di masyarakat.
Namun, pendidikan menempuh jalan tengah antara aliran Marxisme yang radikal-revolusioner dan aliran humanisme yang menempuh cara evolusi dalam menggerakkan perubahan. Pendidikan mengombinasikan antara progresivitas kaum Marxian dan pendekatan gradual milik kaum humanis.
Pendidikan dapat melahirkan manusia yang cerdas dan berpengetahuan yang memiliki kesadaran tinggi untuk melakukan gerakan-gerakan sosial yang dapat mendorong perubahan masyarakat. Transformasi sosial selalu bermula dari lapisan masyarakat terpelajar yang memiliki kesadaran kritis terhadap kondisi sosial politik di dalam masyarakat. Pengalaman sejarah semua bangsa menunjukkan, perubahan sosial acapkali dipelopori oleh kalangan elite terdidik. Kaum intelektual dan lapisan terpelajar selalu menjadi motor penggerak perubahan sosial.
Dalam perspektif sosiologis, pendidikan akan melahirkan lapisan sosial baru, yang dalam struktur piramida sosial berada pada posisi kelas menengah. Lapisan kelas menengah ini berada di antara lapisan elite dan lapisan akar rumput sehingga dapat menjembatani dua kepentingan kelompok sekaligus. Dengan demikian, lapisan kelas menengah ini merupakan bagian dari kelompok strategis yang akan memainkan peranan sentral dalam dinamika sosial-kemasyarakatan.
Pendidikan bertujuan membangun totalitas kemampuan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan tiga aspek dalam diri setiap manusia: (1) cognitive learning, yang meliputi pengembangan ilmu pengetahuan, potensi, dan daya intelektualitas; (2) affective development, yang meliputi penanaman nilai-nilai moralitas dan religiositas, pemupukan sikap emosionalitas dan sensibilitas; dan (3) practical compentence, yang mencakup pengembangan kemampuan adaptasi sosial, pemupukan daya sensitivitas terhadap persoalan sosial-kemasyarakatan, pembinaan kapasitas diri untuk memperluas berbagai pilihan dalam pekerjaan, kesehatan, kehidupan keluarga, dan masalah-masalah praktis yang lain.
Pendidikan sejatinya adalah membangun manusia dalam spektrum holistik yang melingkupi keseluruhan potensi yang dimilikinya. Melalui proses pendidikan, seluruh dimensi kemanusiaan dapat tumbuh-kembang secara optimal. Howard R. Bowen (1997) menulis, "Education should be directed toward the growth of the whole person trough the cultivation not only of the intellect and of practical competence but also of the affective dispositions, including the moral, religious, emotional, social, and esthetic aspects of the personality".
Pendidikan juga merupakan wahana untuk meningkatkan kapasitas individual dan sosial setiap orang dalam keseimbangan yang sempurna. Secara individual, pendidikan akan meningkatkan pengetahuan, informasi, dan keterampilan teknikal, sehingga seseorang memiliki kompetensi untuk memperkuat daya survival-nya dalam kehidupan. Sedangkan secara sosial, pendidikan akan memberi bekal kepada seseorang dalam hal keterampilan sosial berupa kemampuan bersosialisasi, beradaptasi, berinteraksi dalam masyarakat, menjalin relasi sosial, memupuk sikap toleransi dalam dinamika kehidupan masyarakat, dan menanamkan sikap perhargaan atas realitas kemajemukan sosial, memupuk jiwa kepemimpinan, serta menumbuhkan komitmen pada demokrasi dan pembangunan masyarakat madani.
Dalam kata-kata Jan Szczepanski, sosiolog dan ahli pendidikan Polandia, pendidikan dimaksudkan sebagai preparation for participation in social and cultural life, the development of the cultural values to keep up the cultural identity of the nation.
Dalam konteks demikian, memahami pendidikan sebagai strategi kebudayaan antara lain harus memberikan penekanan pada dimensi pendidikan kewargaan (civic education). Sebagai bangsa yang majemuk, dimensi pendidikan kewargaan harus dipupuk dan diperkuat untuk dapat mengembangkan orientasi dan wawasan mengenai realitas kehidupan kebangsaan yang pluralistik. Dalam pendidikan kewargaan, kita ingin membangun kesadaran setiap warga masyarakat tentang kenyataan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa.
Bangsa ini dibangun di atas landasan keberagaman agama, etnis, ras, budaya, dan adat-istiadat, yang menuntut kesediaan untuk saling menerima keberadaan masing-masing pihak. Bangunan negara-bangsa ini bercorak multikultural. Karenanya, setiap elemen sosial harus bersedia hidup secara ko-eksistensial.
Multikulturalisme mengandaikan adanya keinsyafan bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk harus tersedia ruang publik yang cukup untuk bisa saling berinteraksi di antara segenap komponen bangsa, dengan semangat saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Multikulturalisme mengandaikan pula adanya pengakuan atas keberadaan kekuatan lokal (kedaerahan), keberagaman kebudayaan tradisional serta kelompok dan golongan sosial yang bervariasi, tanpa disertai sikap egosentrisme sektoral.
Di dalam masyarakat multikultural tidak ada kelompok etnis tertentu yang dapat mendominasi dan mensubordinasi kelompok etnis lain. Juga tidak ada yang disebut hegemoni budaya yang menciptakan polarisasi pusat dan pinggiran. Karena itu, pendidikan kewarganegaraan menjadi sangat penting, terutama untuk menumbuhkan sikap toleransi dan memperkuat basis solidaritas sosial. Penekanan pada pendidikan kewarganegaraan ini amat penting untuk dapat mereduksi atau mengeliminasi potensi konflik dalam masyarakat majemuk. Dengan demikian, upaya membangun harmoni sosial dapat terlaksana sehingga kohesi di dalam masyarakat akan tercipta.
Sebagai suatu bentuk strategi kebudayaan, pendidikan juga dimaksudkan untuk menyiapkan individu dan masyarakat agar dapat membangun kehidupan modern. Pendidikan merupakan pangkalan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian; wahana sosialisasi nilai, pembinaan sikap mental dan karakter; pemupukan jiwa kreatif yang dapat mendorong tumbuhnya iklim kebebasan dan daya cipta, sehingga terbuka kemungkinan dilakukannya berbagai eksperimentasi.
Melalui jalan eksperimentasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berkembang maju dengan tetap berpijak pada basis budaya masyarakat. Sebab, perkembangan dan kemajuan iptek tak mungkin dapat dilepaskan dari tradisi dan kebudayaan masyarakat bersangkutan. Agar iptek memiliki nilai kemanfaatan yang tinggi bagi masyarakat, iptek harus mempunyai basis sosial budaya yang kuat. Jadi, ada keterkaitan erat antara ilmu pengetahuan dan kebudayaan, seperti ditulis Talcott Parsons, science is ultimately integrated with the social structure and cultural traditions of a society; they mutually support one another.
Salah satu ukuran keberhasilan pendidikan adalah ketika mampu melahirkan individu-individu yang berjiwa otonom dan bebas. Otonomi dan kebebasan merupakan basis bagi tumbuhnya pemikiran-pemikiran progresif dan visioner, yang memiliki jiwa kreatif, sehingga dapat mengembangkan daya imajinasi secara maksimal. Sebaliknya, pendidikan dinilai gagal bilamana hanya melahirkan, meminjam istilah Erich Fromm, automaton--makhluk hidup yang bergerak dan berpikir menyerupai mesin.
Manusia automaton sejatinya kehilangan hakikat diri karena tak punya otonomi dan kebebasan sehingga tak mampu mengembangkan jiwa kreatif. Daya imajinasi menjadi tumpul, sulit melahirkan pemikiran-pemikiran progresif dan visioner yang mencerahkan. Padahal, dengan jiwa kreatif dan daya inovasi, manusia akan mampu bangkit untuk mencapai kemajuan.
Individu yang berjiwa kreatif dan inovatif selalu memandang realitas kehidupan dengan perspektif optimistik, yang disertai daya kritisisme untuk selalu mempersoalkan dan menggugat tradisi dan kebudayaan yang ada. Kebudayaan bukan sesuatu yang statis, tetapi bergerak dinamis seiring dengan perkembangan masyarakat. Kebudayaan berkembang secara dialektis mengikuti dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Dalam konteks kebudayaan, pendidikan merupakan wahana bagi proses pencerdasan masyarakat, yang dilakukan secara sistematik dan programatik untuk memperkuat akar-akar tradisi dan kebudayaan bangsa, dengan tetap membuka diri bagi proses perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Karena itu, dalam proses pendidikan niscaya akan berlangsung suatu interaksi dialektis di antara beragam pemikiran dan nilai-nilai yang menghasilkan inovasi dan akulturasi.
Pendidikan sebagai strategi kebudayaan akan terasa lebih bermakna ketika mampu memberi kontribusi dalam proses perkuatan institusi-institusi sosial dan budaya. Juga dapat melahirkan critical mass yang mampu menyuarakan aspirasi masyarakat yang kemudian dapat meningkatkan kapasitas bangsa, the improving capacity of a nation.(lampost)

Amich Alhumami, Peneliti Sosial, Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom

Artikel yang Berhubungan



0 komentar:

  © Budaya Lampung Atrium by Artikel 2008 info terkini info terkini

Back to TOP