Menjadikan Budaya Asli Mesuji sebagai Kekuatan
Minggu, 21 Juni 2009
PEMKAB Mesuji bekerja sama dengan Lampung Post menggelar diskusi terbatas membahas budaya Mesuji, di kantor Lampung Post, Selasa (16-6). Ada yang penting untuk mengancah masalah ini, sebab ternyata Mesuji mempunyai budaya yang khas. Sama sekali berbeda dengan Lampung.
----------------
Menurut Ismail Ishak, tokoh adat dan tokoh pemuda Mesuji, kebudayaan Mesuji merupakan budaya tersendiri, tidak masuk ke dalam ranah budaya Lampung maupun Sumatera Selatan. Pun termasuk kebudayaan yang lamat-lamat menghilang dari habit masyarakatnya.
Kepunahan budaya asli Mesuji ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain posisi geografis Mesuji yang diapit antara Sumatera Selatan dan Lampung, determinasi dari modernitas seperti televisi yang menayangkan simbol-simbol modernitas itu sendiri, serta pola hidup yang mengenyampingkan budaya asli dari masyarakatnya itu sendiri.
Cara terbaik mengatasi dekadensi budaya Mesuji itu adalah masyarakatnya harus bersikap "asli", dalam arti menggunakan budaya asli pada kehidupan sehari-hari karena budaya terbentuk dari kehidupan sehari-hari, dari kebiasaan.
Menurut Iswadi Pratama, budayawan/seniman Lampung, "Budaya adalah suatu keadaan yang terbentuk dari cipta, karsa, dan karya manusia yang berkaitan erat dengan kondisi geografis tempat manusia tersebut berada."
Tetapi, ke-asli-an tersebut jangan membuat seakan-akan masyarakat Mesuji menjadi eksklusif dibandingkan yang lain, masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Merunut pendapat Sudjarwo, akademisi FKIP Unila, bahwa jangan sampai akibat ke-eksklusif-an tersebut masyarakat Mesuji menjadi menutup diri terhadap kebudayaan lain.
Mengutip perkataan Iswadi yang mengatakan biarkan saja budaya-budaya tersebut bercampur, "Justru hal tersebutlah yang akan memperkaya." Bila ada penilaian, yang mana budaya asli dan yang bukan, malah akan membuat budaya tersebut mati pelan-pelan.
Sedangkan Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka berpendapat sebaiknya pemerintah pun harus ikut andil dalam melestarikan kebudayaan asli Mesuji. Peran tersebut dapat melalui sektor pendidikan.
Pendidikan bisa dikatakan sebagai langkah kedua, tetapi hendaknya bukan hanya kewajiban dalam menyelesaikan sebuah kurikulum yang sudah ditetapkan, melainkan mengonsepkan pendidikan yang dapat menumbuhkan pemahaman dari murid didik bahwa mereka memiliki budaya asli dan bangga terhadap budaya aslinya.
Syaiful pun mengatakan bahwa penyediaan sarana dan prasarana penyokong agar kegiatan kebudayaan tetap berjalan secara berkelanjutan, bukan hanya berhenti saat semua fasilitas terpenuhi. Sebab, kebudayaan dapat lestari bilamana ada penggeraknya yang mengapresiasikannya secara terus menerus.
Namun, hendaknya pula tidak terjebak oleh anggapan klise bahwa kebudayaan itu adalah benda-benda visual seperti patung-patung simbol atau tempat kesenian. Merunut pandangan Iswadi dan Sudjarwo, jika menganggap kebudayaan adalah hal-hal tersebut, kebudayaan itu adalah kebudayaan yang mati. Lebih tepat adalah agar nilai-nilai kultural dari daerah Mesuji yang lebih digali lagi.
Setelah nilai-nilai kultural tersebut dapat ditanamkan, menurut Isawadi, langkah yang selanjutnya adalah pen-ciri-khas-an daerah Mesuji yang mencerminkan budayanya tersebut. Diperlukan gerak cepat dalam mempromosikan budaya Mesuji tersebut, bisa dengan promosi pariwisata ataupun dari website untuk menjadi peta budaya.
Bila promosi pariwisata hendak dilakukan, sebaiknya diambil sebuah ciri khas dari Mesuji yang dijadikan tema pariwisata tersebut. Ciri khas Mesuji adalah sungai. Oleh karena itu, mengadakan festival sungai adalah cara terbaik dan termudah. Adakan sebuah rangkaian acara festival yang berhubungan dengan ciri khas tersebut.
Selain itu, menurut Iswadi, promosi dapat juga dilakukan dengan mengundang penulis atau wartawan yang diajak berkeliling kemudian menuliskan sebuah travellog (catatan perjalanan), sehingga tidak hanya dari segi pariwisata saja yang didapatkan angle-nya, tetapi akan banyak angle yang akan diperoleh, entah itu humaniora, sejarah, atau bahasa.
Pemusnah terbesar suatu kebudayaan adalah manusianya sendiri. Karena jika manusianya sendiri tidak mau mengakui kebudayaan asli dan tidak mau berinteraksi dengan kebudayaan yang lain untuk memperkaya diri dan pikirannya, niscaya kebudayaan akan mati, cepat atau lambat.
0 komentar:
Posting Komentar