Kearifan Lokal untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 25 April 2009

KEPERCAYAAN, takhayul, mitos, pengetahuan, kebiasaan, dan keyakinan adalah bagian dari kebudayaan yang sangat memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Program-program pembangunan di daerah bisa gagal jika tidak memperhatikan dan mendalami faktor budaya di dalam masyarakat. Untuk menanggulangi kemiskinan, misalnya, tidak bisa hanya mengandalkan satu cara pandang saja, tetapi juga harus memahami aspek pengetahuan, keyakinan, kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat.

Kemajuan dalam masyarakat berjalan seperti keong, sangat lamban. Ini terjadi karena hampir semua pranata dalam pembangunan bersifat holistik yang bergantung satu sama lain. Kelemahan di satu aspek akan memengaruhi aspek yang lainnya di dalam pembangunan. Satu hal yang selalu menyelimuti dan seakan menjadi nasib sebagian bangsa Indonesia adalah pengangguran dan kemiskinan.

Kemiskinan jelas memengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat karena kemiskinan orang tidak bisa sekolah karena miskin terjadi gizi buruk, dan lain-lain sebagainya. Pengangguran berarti tidak adanya pekerjaan, tidak adanya pekerjaan berarti tidak adanya penghasilan, tidak ada penghasilan berarti kemiskinan melanda.

Pengentasan kemiskinan merupakan agenda yang sudah tua dan sampai saat ini perubahan kemiskinan menjadi kesejahteraan masih jauh dari harapan. Masalah utamanya bukan hanya kemiskinan harta benda dan tidak punya uang. Lebih buruk dari itu, kemiskinan kebudayaan. Kemiskinan kebudayaan menyebabkan orang tidak punya orientasi apa-apa dalam hidup, tidak ada perjuangan, usaha dan keinginan untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Kemiskinan kebudayaan cenderung menekankan pada kemiskinan akan mental, pengetahuan, karakter, nilai, dan etos yang didominasi oleh kepercayaan, keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, mitos, takhayul, dan lain sebagainya.

Betapa banyak generasi muda di Lampung, terutama masyarakat kurang berpendidikan, yang cenderung kawin pada masa belum mapan dan didukung keluarga karena tidak punya orientasi dan pandangan hidup ke depan. Kawin muda dengan tanpa pekerjaan dan tidak punya pikiran bagaimana cara membangun rumah tangga yang baik karena ada suatu keyakinan bahwa dengan menikah maka akan ada usaha, dan keyakinan itu diwariskan secara turun-temurun, sehingga jadilah kemiskinan yang diwarisi.

Kebudayaan memang sulit diubah. Program penanggulangan gizi buruk tidak akan berhasil tanpa memahami terlebih dahulu segenap kepercayaan, keyakinan, kebiasaan, mitologi tentang makanan yang dimiliki masyarakat. Perlu mempersiapkan strategi untuk mengubah keyakinan itu.

Namun, tidak semuanya kebudayaan memiliki aspek negatif dalam masyarakat, sesungguhnya sebagian besar kebudayaan memberikan nilai positif bagi masyarakat pendukungnya. Misalnya saja etnosains dan etnoteknologi yang bermanfaat positif bagi masyarakat, yang sering disebut dengan kearifan lokal.

Kearifan lokal di Lampung sangat kaya sekali, dan hal ini sampai saat ini masih sangat kurang sekali diperhatikan oleh semua pihak. Kebanyakan program pembangunan mengimport konsep dari luar bahkan dari bangsa asing, sehingga seringkali tidak berguna bagi masyarakat.

Kenapa tidak menggunakan konsep yang sudah ada dalam pengetahuan lokal masyarakat, dan kemudian itu diuji dan bersama-sama semua pihak memanfaatkan konsep itu untuk pembangunan. Saya rasa semua pranata di dalam kehidupan masyarakat memiliki kearifan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.

Misalnya, bidang ekonomi, politik, lingkungan, gizi, dan lain sebagainya. Contohnya saja bidang politik, kalau dilihat saat ini konsep demokrasi mana yang diterapkan oleh masyarakat? Sehingga bisa terjadi saling baku hantam sampai nyawa melawang?, padahal Indonesia juga punya demokrasi ala Indonesia, bahkan demokrasi ala budaya di Lampung.

Contoh lainnya adalah bidang ekonomi, masalah penanggulangan kemiskinan, di hampir seluruh etnik di Indonesia bahkan dalam budaya Lampung, memiliki inisiatif lokal di dalam menanggulangi kemiskinan. Kenapa banyak anak-anak di jalanan? Kenapa banyak pengemis? Kenapa banyak anak-anak telantar? Itu disebabkan sudah hilangnya hubungan dan jaringan kekebatan di dalam keluarga-keluarga. Orang sudah tidak peduli lagi terhadap saudaranya sendiri, hidup individualis semakin menguat dan keluarga luas (keluarga besar) semakin merenggang, sehingga hubungan kekerabatan yang didasarkan persaudaraan dan gotong royong juga sudah memudar.

Tidak ada dalam suatu norma kebudayaan tertentu seseorang mampu membiarkan kerabat lainnya dalam keluarga tidak makan. Di dalam filosofi budaya Lampung, tidak ada keluarga Lampung yang mampu membiarkan saudaranya telantar, saling bantu-membantu dengan ikatan keluarga yang kuat adalah sebuah kearifan lokal yang perlu terus dipelihara.

Seorang keluarga Lampung akan malu memiliki saudara yang tidak mampu, sehingga dengan segala upaya akan selalu membantu kehidupan saudaranya. Inilah yang harus terus dipelihara. Bagaimana di dalam adat budaya Lampung menghormati saudara yang paling tua walaupun mungkin secara ekonomis kurang mampu, namun dalam adat Lampung saudara paling tua tetap yang harus dihormati, disegani, bahkan dibantu meskipun yang muda memiliki status sosial ekonomi yang tinggi. Kearifan lokal semacam inilah yang mesti terus dipelihara dan bisa dijadikan basis sebagai paradigma baru dalam pembangunan.

Di bidang lain, misalnya, lingkungan, etnik Lampung memiliki suatu budaya yang sangat baik di dalam pengerjaan ladangnya misalnya ngumo, di dalam berladang dan ketika pertama kali membuka ladang, ada filosofi yang berisikan nilai-nilai budaya Lampung dalam memelihara lingkungannya. Ketika membuka ladang, ada kepercayaan tentang pohon mana yang boleh ditebang dan pohon mana yang tidak boleh ditebang, bahkan lahan mana yang boleh dibuka ladang dan lahan mana yang tidak boleh dibuka ladang karena akan menimbulkan kerugian bagi lingkungan sekitarnya.

Ada juga pengetahuan tentang bagaimana cara membakar hutan yang akan dibuka untuk ladang, dan bagaimana caranya supaya apinya tidak membakar hutan yang lain. Bukan hanya itu saja, ada kebiasaan dan sudah menjadi kepercayaan untuk terus memelihara ladang yang tidak ditanami lagi sampai tumbuh kembali pohon-pohonnya agar tidak terjadi erosi.

Pengetahuan-pengetahuan lokal semcam ini seringkali diabaikan oleh berbagai pihak, dan dianggap tradisional, tidak ilmiah dan kuno. Padahal kalau saja pengetahuan-pengetahuan semacam ini dikembangkan bahkan diwariskan kepada generasi berikutnya mungkin sangat baik untuk penanggulangan bencana alam dan mengatasi masalah lingkungan. Sayang sekali pengetahuan lokal seperti ini tidak diwariskan di sekolah-sekolah yang masuk sebagai bahan pembelajaran untuk anak-anak.

Bidang lain, penanggulangan gizi, kenapa masalah gizi semakin hari semakin sulit ditanggulangi? Ada faktor sosial budaya masyarakat yang ikut serta didalam pola konsumsi masyarakat.

Kenapa orang-orang yang pekerjaannya nelayan menangkap ikan, justru anak-anak mereka yang terkena gizi buruk? Fenomena seperti ini sangat menyedihkan, karena sumber daya alam yang ada tidak mampu dimaksimalkan untuk kepentingan sendiri.

Sebagian anak-anak dibiasakan maka mi instan ketimbang makan hasil tangkapan ikan bapaknya yang sebagian besar dijual untuk membeli barang-barang yang tidak pada kebutuhan utama, misalnya, rokok. Mi instan dijadikan lauk yang dimakan bersama nasi, karena harganya yang murah dan cara pengolahannya yang relatif efisien.

Makan bukanlah sekadar mengisi perut yang kosong atau mengeyangkannya, dan persoalan makanan bukanlah persoalan tentang kandungan gizi secara medis saja melainkan juga persoalan kebudayaan, yakni kepercayaan tentang makanan dan kebiasaan makanan (food habit). Kepercayaan makanan dan kebiasaan makanan bukanlah sesuatu yang mudah diubah, karena kepercayaan makanan atau biasa disebut dengan ideologi makanan merupakan inti kebudayaan yang sulit untuk berubah (Linton, 1979).

Jadi, dari segala aspek tadi, seyogianya program-program pembangunan mengedepankan faktor sosial budaya dalam masyarakat, bukan hanya pembangunan fisik semata yang dijadikan indikator kemajuan masyarakat. Kearifan lokal dalam masyarakat Lampung dapat dijadikan sebuah energi positif untuk kesejahteraan rakyat Lampung.

Bartoven Vivit N. Irsan.
Kepala Pusat Studi Budaya Lampung, Lembaga Penelitian Unila

Sumber : Lampung Post


Artikel yang Berhubungan



0 komentar:

  © Budaya Lampung Atrium by Artikel 2008 info terkini info terkini

Back to TOP