Jenjang Permukiman dan Perkembangan Masyarakat Lampung
Minggu, 22 Februari 2009
Pendahuluan
Manusia mengenal permukiman diperkirakan sejak masa mesolitik. Mereka bermukim secara mengelompok di tempat-tempat yang keadaan alamnya dapat memenuhi kehidupan, misalnya di gua-gua yang dekat dengan sumber makanan atau tempat-tempat terbuka di pinggir sungai, danau, atau pantai (Soejono, 1992: 155 - 156). Pada masa neolitik, yaitu ketika sudah dikenal bercocok tanam, mulai ada tanda-tanda hidup menetap di suatu perkampungan sederhana yang didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga. Kegiatan-kegiatan dalam kehidupan perkampungan yang terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan bersama, mulai diatur dan dibagi antar anggota masyarakat (Soejono, 1992: 167-168). Pada masa ini pun juga merupakan awal dikenalnya suatu sistem organisasi sosial.
Permukiman yang semula hanya sederhana lama-kelamaan berkembang hingga pada keadaan yang mapan (menjadi suatu kota). Perkembangan permukiman hingga menjadi suatu kota seiring dengan perkembangan peradaban manusia pendukungnya. Dapat dikatakan semakin cepat laju evolusi peradaban, semakin cepat pula mapannya suatu pemukiman. Menurut Gordon Childe (1979: 12 - 14) evolusi peradaban manusia dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu savagery, barbarism, dan civilization. Tahap savagery dianggap sebagaimana masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa ini belum dikenal adanya hukum dan tata pemerintahan. Tahap barbarism merupakan masyarakat bercocok tanam yang sudah mengenal hukum dan tata pemerintahan secara sederhana dalam kelompok yang terbatas dan tertutup. Sedangkan pada tahap civilization adalah suatu masyarakat agrikultur dan industri. Kelompok masyarakat ini sudah mengenal tata pemerintahan dan hukum adat yang telah teratur.
Selain Childe, Flannery juga membagi evolusi peradaban menjadi tiga tahap. Dasar pembagiannya pada adanya pemimpin dan penguasa. Menurut Flannery (1979: 28 - 30) tahap evolusi peradaban terdiri dari egalitarian society, chiefdoms, dan stratified society. Masyarakat egaliter menganggap bahwa semua derajad manusia dalam masyarakat adalah sama, tidak ada tingkatan maupun clas. Masyarakat chiefdoms sudah ada pembagian clas antara pemimpin dan yang dipimpin. Sedangkan stratified society merupakan masyarakat heterogen dengan berbagai clas dan tingkatan. Kelompok masyarakat ini terwujud dalam suatu perkotaan.
Pengertian tentang “kota”, hingga saat ini belum terdapat suatu batasan yang dapat diterapkan secara universal. Pada kebudayaan yang berbeda-beda, elemen-elemen yang berbeda telah digunakan sebagai persyaratan minimum bagi sebuah permukiman untuk dapat disebut sebagai kota. Sebagai contoh di dunia hellenistik, suatu tempat dikatakan kota apabila ada elemen-elemen meliputi teater, gimnasium, dan prytaneion. Di dunia Islam jaman pertengahan elemen kota meliputi masjid, pasar, dan tempat mandi publik. Di Eropa pemukiman kota terdiri benteng pertahanan, pasar, dan tempat pengadilan (Rapoport, 1986: 22 - 23). Pada jaman kejayaan kesultanan Islam di Indonesia, sudah dapat dikatakan “kota” apabila sudah dilengkapi kraton sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai pusat kegiatan ibadah (ritual), dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi serta kadang-kadang juga taman. Dengan demikian keanekaragaman pengertian kota disebabkan pula karena perkembangan zaman yang mengakibatkan terjadinya perubahan.
Keberadaan kota cenderung dikaitkan dengan kekuatan politis yang sudah mantap. Di nusantara khususnya Jawa banyak prasasti yang memberikan keterangan bahwa negara-negara sebelum Singasari zaman Kertanegara tidak menghasilkan kedaulatan/kekuasaan kerajaan yang mantap. Meskipun pura atau kuta sudah dikenal dalam prasasti sejak abad ke-5, namun penerapan konsep negara dengan pusat kekuasaan yang mantap dan bermasyarakat kota belum tampak sebelum abad ke-14. Sehingga kota pertama di nusantara yang mungkin sudah mempunyai struktur permukiman kota adalah Trowulan, kota Majapahit (Wiryomartono, 1995: 1).
Sebelum zaman Majapahit yaitu sekitar abad ke-8 di kerajaan Mataram kuna sudah terdapat suatu pemukiman berjenjang yang terdiri atas daerah pusat kerajaan, watak, dan wanua. Pada pusat kerajaan yaitu ibukota di mana berdiri istana merupakan tempat Sri Maharaja dan tempat tinggal para putra raja dan kaum kerabat dekat, para pejabat tinggi kerajaan serta para abdi dalem. Daerah-daerah watak, yaitu daerah yang dikuasai para rakai dan pamgat, serta daerah wanua atau desa yang dipimpin oleh rama (Sumadio, 1990: 190). Konsep tentang wanua di daerah Kayuagung, Komering, dan Lampung mempunyai pengertian sedikit berbeda. Wanua atau Banua atau hanya disebut Nua dalam lingkungan bahasa Austronesia tidak merujuk pada permukiman urban. Wanua lebih dekat pada gagasan mengenai permukiman masyarakat desa dengan status sosial, politik, dan ekonomi yang otonom. Kalimat maruwat wanua dalam prasasti Kedukan Bukit dapat diartikan pentasbihan untuk pembinaan desa otonom yang di kemudian hari menjadi daerah utama Sriwijaya. Lebih dekat dengan makna wanua adalah rumah yang perlu peresmian (Wiryomartono, 1995: 17). Di kalangan masyarakat Tulangbawang istilah Nua (dialek setempat menyebutnya Nuwou) mengacu pada satuan pemukiman terkecil yaitu rumah. Satuan pemukiman yang lebih tinggi setingkat wanua disebutnya tiyuh, anek, atau pekon (Troe, 1997: 129). Jenjang pemukiman sebagaimana zaman Kerajaan Mataram Kuna di Jawa sangat dipengaruhi oleh jenjang dalam strata pemerintahan. Kaitan jenjang pemukiman dengan strata dalam pemerintahan berlanjut terus hingga masa Mataram Islam bahkan hingga sekarang.
Di Lampung belum ditemukan indikator adanya pusat kekuatan politis berupa kerajaan sebagaimana Mataram, Majapahit, serta Kesultanan Banten di Jawa atau Sriwijaya, Melayu, serta Kesultanan Palembang di Sumatera. Belum ditemukannya indikator adanya kekuatan politis ini tidak berarti di Lampung tidak mengenal sistem organisasi pemerintahan. Kelompok masyarakat yang menempati suatu tiyuh sudah mengenal sistem pemerintahan dalam bentuk organisasi masyarakat adat. Dengan adanya sistem organisasi ini diasumsikan terdapat jenjang pemukiman masyarakat Lampung.
Pemerintahan Adat Masyarakat Lampung
Masyarakat Lampung berdasarkan legenda dan bukti-bukti tinggalan arkeologis mula-mula terkonsentrasi di Sekala Berak, yaitu kawasan Pegunungan Bukit Barisan sekitar Danau Ranau, Lampung Barat. Di kawasan ini banyak ditemukan monumen megalitik berupa kompleks dolmen dan menhir pada areal yang dibatasi parit dan benteng tanah. Diperkirakan, karena tekanan perkembangan populasi yang kuat menyebabkan terjadi migrasi ke seluruh Lampung. Olivier Sevin (1989: 49 – 69) memperkirakan sebagai masyarakat asli Lampung adalah orang Pubian yang menempati kawasan antara Padangratu, Kota Agung, Teluk Betung, serta wilayah selatan Gunung Sugih di mana kawasan ini dibelah Way Sekampung. Pada sekitar abad ke-17 hingga ke-19 terjadi gelombang migrasi dari luar memasuki Lampung. Pada sekitar abad ke-17 terjadi gelombang migrasi dari Banten. Selanjutnya pada abad ke-19 terjadi kolonisasi dari Jawa. Menurut tradisi sejarah lisan, emigran yang masuk ke Lampung juga berasal dari Pagaruyung, Bengkulu, Jambi, masyarakat Melayu, dan Bugis (Warganegara, 1994: 3 – 13; Hadikusuma, 1989: 44 – 52).
Masyarakat Lampung sebelum mendapat pengaruh peradaban dari luar seperti India (Hindu Buddha) sudah mengenal semacam pemerintahan demokratis dengan bentuk marga. Di dalam pemerintahan marga terdapat kelengkapan fisik berupa sesat, yaitu rumah besar yang berfungsi untuk tempat berunding (Alf, 1954: 5). Menurut Ahmad Kesuma Yudha dengan mengacu pada pendapat J.W. Naarding (Yudha, 1996: 3), pemerintahan marga dikenal setelah kerajaan Tulangbawang punah. Kekosongan pemerintahan ini dimanfaatkan Sriwijaya menguasai Lampung dan memperkenalkan sistem pemerintahan adat marga. Sistem ini berlangsung terus hingga kemudian Banten menguasainya.
Ketika Banten memasuki Lampung pada tahun 1530, daerah Lampung terbagi dalam wilayah keratuan (persekutuan hukum adat) yang terdiri Keratuan di Puncak menguasai wilayah Abung dan Tulangbawang, Keratuan Pemanggilan menguasai wilayah Krui, Ranau, dan Komering, Keratuan di Pugung menguasai wilayah Pugung dan Pubian, serta Keratuan di Balau menguasai wilayah sekitar Teluk Betung. Ketika Banten berpengaruh kuat di Lampung, Keratuan di Pugung terbagi lagi dan berdiri Keratuan Maringgai (Melinting) dan Keratuan Darah Putih (Kalianda). Dengan demikian setelah punahnya Kerajaan Tulangbawang di Lampung tidak dikenal adanya pemerintahan dalam bentuk kerajaan tetapi yang berkembang adalah sistem pemerintahan demokratis dalam bentuk keratuan (Soebing, 1988: 35).
Pada sekitar abad ke-17 – 18 keratuan tersebut membentuk pemerintahan persekutuan adat berdasarkan buay (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan buay inti atau klan) dan marga (kesatuan dari bagian buay atau jurai dalam bentuk kesatuan kampung atau suku (Hadikusuma, 1989: 157). Sistem pemerintahan marga di Sumatera diciptakan oleh Kesultanan Palembang dalam rangka upaya menguasai kehidupan politik dan perekonomian daerah-daerah yang berada di bawahnya (Mintosih, 1993: 42 – 45). Sistem pemerintahan marga cenderung lebih birokratis untuk kepentingan kehidupan sosial politik yang lebih besar dan kompleks. Berbeda dengan sistem kepemimpinan tradisional seperti keratuan di Lampung, pemerintahan marga merupakan bagian dari sistem pemerintahan otoriter di mana para pemimpinnya dipilih dan diangkat secara rasional (tidak secara turun temurun) oleh pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Pembentukan marga mengacu pada Undang-undang Simbur Cahaya, yaitu suatu kodifikasi ketentuan hukum kerajaan yang berlaku abad ke-17 di wilayah Kesultanan Palembang. Kodifikasi undang-undang itu dilakukan oleh Ratu Sinuhun Sending, permaisuri Sultan Sending Kenayan (1629 – 1636).
Hierarki pemerintahan di bawah sultan terdiri dari daerah-daerah yang dipimpin pejabat setingkat gubernur masa sekarang yang disebut Rangga, Kerangga, atau Tumenggung. Wilayah kekuasaannya disebut Ketemenggungan. Daerah kekuasaan Rangga terdiri beberapa Marga yang dipimpin Pesirah Marga. Para pesirah yang banyak berjasa kepada sultan diberi gelar Adipati atau Depati. Sebuah marga terdiri sejumlah desa yang dipimpin Kerio atau Proatin. Kepala desa yang di desanya terdapat Pesirah tidak disebut Kerio tetapi disebut Pembarap. Kedudukan pembarap sedikit lebih tinggi dari kerio, karena pembarap juga merupakan wakil Pesirah. Setiap desa terdiri beberapa kampung yang dipimpin Penggawa. Pada tahun 1826 sistem pemerintahan marga diambil alih pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sejak itu dalam struktur pemerintahan, marga berada di bawah dan tunduk kepada kekuasaan Residen.
Perubahan kekuasaan di tangan kolonial Belanda tidak banyak merubah sistem pemerintahan adat masyarakat lampung. Pada tahun 1873, Belanda menetapkan Karesidenan Lampung dibagi dalam enam Onder Afdeeling (Kawedanaan). Pada tahun 1928, Belanda menetapkan Ordonansi yang disebut Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan. Dengan peraturan ini, marga diberi legitimasi struktural dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kepala-kepala marga (Pasirah) dipilih dari para pemimpin adat tingkat marga. Ketika Jepang berkuasa seluruh sistem adat tidak berjalan.
Memasuki masa pemerintahan RI, pada tahun 1947 sistem pemerintahan marga dihapus karena dianggap warisan kolonial. Pada tahun 1953 diberlakukan sistem pemerintahan nagari sebagaimana lembaga nagari di Sumatra Barat. Sistem nagari akhirnya tidak dapat berkembang dan akhirnya lenyap. Selanjutnya sistem pemerintahan mengikuti peraturan yang berlaku hingga sekarang (Yudha, 1996: 4 – 6). Seiring dengan lenyapnya lembaga nagari, sistem marga hidup kembali, namun tidak punya kewenangan kekuasaan untuk mengatur pemerintahan. Sistem pemerintahan marga berlangsung hingga tahun 1976. Undang-undang Nomor 10 tahun 1975 tentang Pengaturan Pemerintahan Daerah menghapus sitem pemerintahan tradisional di seluruh Indonesia.
Beberapa Situs Dalam Jenjang Pemukiman
Ibukota Keratuan
Masyarakat Lampung sejak sebelum ada pengaruh kekuatan politik besar dari luar sudah mengenal sistem pemerintahan dalam bentuk keratuan. Berdasarkan tradisi lisan dan peninggalan arkeologis yang ada, sistem pemerintahan keratuan berlangsung mulai akhir masa prasejarah. Pembentukan keratuan salah satunya dipengaruhi oleh tekanan pertumbuhan penduduk yang pada waktu itu terjadi di kawasan Sekala Berak. Beberapa tinggalan arkeologis di kawasan Sekala Berak yang berupa monumen megalitik merupakan bukti kuat sudah dikenalnya sistem kepemimpinan. Pada mulanya setidak-tidaknya terdapat empat keratuan yaitu Keratuan di Puncak, Keratuan Pemanggilan, Keratuan di Pugung, serta Keratuan di Balau. Berdasarkan tradisi lisan dikisahkan bahwa sistem pemerintahan keratuan cenderung bersifat egaliter. Pemimpin merupakan seorang yang kharismatik, terpilih secara spontan karena kelebihan yang dimilikinya.
Institusi keratuan menunjukkan ciri masyarakat chiefdom yang sudah lebih maju dari pada masyarakat egaliter karena sudah mengenal sistem pemerintahan. Masyarakat demikian ini merupakan masyarakat early state yang sudah mengenal hukum walaupun aturan-aturan yang dikenalnya merupakan otoritas mutlak pemimpinnya. Masyarakat demikian biasanya dalam satu kerabat. Pertanian adalah matapencaharian utama dengan ditunjang usaha kerajinan. Pada pusat pemukiman terdapat bangunan induk bersifat komunal. Biasanya juga dilengkapi bangunan suci untuk sarana religi. Tempat tinggal penguasa juga berfungsi sebagai pusat administrasi birokrasi. Sebagai ibukota, pemukiman ini dikelilingi beberapa kampung-kampung yang lebih kecil (Renfrew & Bahn, 1991: 156 – 157).
Berdasarkan tradisi sejarah lisan, paling tidak terdapat dua lokasi pemukiman masyarakat sebagai ibukota keratuan yaitu Canguk Gaccak sebagai ibukota Keratuan di Puncak (Warganegara, 1994: 6) dan Pugung sebagai ibukota Keratuan di Pugung yang dipimpin Ratu Galuh (Melinting, 1988: 14).
Situs Canguk Gaccak berada di Kampung Sekipi, Kecamatan Abung Tinggi, Lampung Utara (Tim Penelitian, 2006). Situs Canguk Gaccak berada di tepi Way Abung, yang merupakan anak Way Rarem. Di sebelah utara sungai terdapat lahan yang dibatasi sungai alam serta parit dan benteng tanah buatan. Parit dan benteng tanah berada di bagian timur, melintang dengan orientasi utara – selatan menghubungkan dua aliran sungai. Di bagian dalam lahan terdapat kompleks dolmen, batu melingkar (stone enclouser), dan menhir terdiri dua belas kelompok.
Pada lahan yang berada di sebelah selatan sungai terdapat kompleks makam terdiri dua kelompok. Kelompok makam pertama berada pada lahan di tepi sawah. Tokoh utama yang dimakamkan adalah Minak Raja Di Lawuk, berada di bagian paling timur. Kondisi makam yang terlihat sekarang tidak dilengkapi jirat. Batas makam berupa jajaran batu andesitik. Nisan makam merupakan tipe Aceh berbentuk gada dari bahan batuan granodiorit. Di bagian paling barat terdapat makam Paksi Tuan Guru. Tokoh ini merupakan keturunan Minak Trio Diso.
Kelompok makam kedua berada di sebelah barat kelompok makam pertama. Kelompok makam berada pada lahan setinggi sekitar 3 m dari permukaan lahan sawah. Pada tangga masuk sebelah timur menuju makam terdapat batu berdiameter sekitar 25 cm. Batu tersebut merupakan lambang kepala Minak Raja Di Lawuk, yang harus diinjak oleh keturunan Minak Trio Diso ketika akan berziarah. Pada kompleks makam terdapat tiga makam. Makam paling timur merupakan makam Minak Dara Putih atau Hyang Mudo, makam yang ditengah merupakan makam Minak Trio Diso, dan yang di utara adalah makam Syekh Abdurrahman.
Cerita rakyat daerah Lampung tentang Kisah Betan Subing menyebutkan bahwa Minak Raja Di Lawuk adalah tokoh yang berhasil mengalahkan Datu Di Puncak. Minak Raja Di Lawuk kemudian dikalahkan oleh Betan Subing, salah satu anak Datu Di Puncak. Untuk mengembalikan kehormatan Datu Di Puncak, kepala Minak Raja Di Lawuk dikubur di tengah jalan yang dilalui orang jika akan ke makam Datu Di Puncak, yaitu antara tepi sungai dengan makam Datu Di Puncak (Imron dan Iskandarsyah, 2002: 20 - 46). Apabila mengacu pada cerita ini maka tokoh utama yang dimakamkan di kompleks ini adalah Datu Di Puncak.
Di sebelah tenggara kompleks makam Minak Trio Diso berjarak sekitar 300 m terdapat bukit kecil yang dinamakan Gunung Rimba Bekasan. Di atas bukit terdapat lahan seluas sekitar 1 ha yang dikelilingi parit dan sungai. Parit di sisi timur lebarnya sekitar 50 cm. Parit di sisi selatan lebarnya sekitar 10 m dengan kedalaman sekitar 6 m. Sisi barat dan utara merupakan aliran sungai Pasuut yang merupakan anak Way Abung.
Pada lahan yang dikelilingi parit dan sungai, terdapat makam keramat berorientasi barat laut – tenggara. Tokoh yang dimakamkan terdiri dari Minak Dara Putih (barat daya), Rendang Sedayu (tengah), dan Minak Munggah Di Abung (timur laut). Rendang Sedayu dikenal sebagai salah satu isteri Minak Trio Diso. Tokoh ini juga dikenal dengan sebutan Raja Lemaung. Ketiga makam tersebut tidak dilengkapi jirat. Nisan sebagai penanda makam berbentuk pipih dan beberapa kumpulan batu.
Selain Canguk Gaccak, ibukota keratuan yang disebutkan dalam cerita rakyat adalah Pugung. Sebutan Pugung sekarang dikenal dengan nama Pugungraharjo. Situs Pugungraharjo secara administratif termasuk wilayah Desa Pugungraharjo, Kecamatan Jabung. Situs Pugungraharjo menempati areal seluas kurang lebih 30 ha. Di sebelah selatan situs terdapat aliran Way Pugung yang menjadi batas situs. Way Pugung merupakan anak Way Sekampung. Lahan situs dikelilingi fetur benteng tanah dan parit. Lebar benteng tanah sekitar 5 m, sedangkan tingginya 2 – 3 m. Di bagian luar benteng terdapat parit yang lebarnya 3 – 5 m. Di beberapa tempat pada benteng terdapat jalan masuk. Dengan adanya benteng tanah tersebut, areal situs terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama berada pada bagian paling barat. Sisi utara bagian pertama ini dibatasi benteng tanah yang membujur arah barat daya - timur laut kemudian berbelok ke arah tenggara. Benteng tersebut kemudian berbelok lagi ke arah selatan sampai pertemuan dengan sungai. Bagian kedua situs terdapat di sebelah timur bagian pertama. Bagian kedua ini juga dibatasi oleh adanya benteng tanah yang membujur arah barat - timur. Benteng tanah tersebut kemudian berbelok ke selatan. Bagian ketiga dari areal situs tersebut terdapat di bagian paling timur. Bagian ini tidak dibatasi oleh adanya benteng tanah.
Tinggalan-tinggalan arkeologis yang terdapat di situs Pugungraharjo terdiri dari bermacam-macam bentuk, diantaranya berupa batu berlubang, batu bergores, lumpang batu, menhir, dan punden berundak. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian pertama berupa batu berlubang, batu bergores, dan punden berundak. Pada bagian kedua terdapat susunan menhir dan batu altar yang membentuk denah segi empat. Pada salah satu menhir terdapat pahatan yang membentuk garis melingkar di kedua ujungnya. Sedangkan pada salah satu batu altar terdapat pahatan yang membentuk huruf T. Susunan menhir dan batu altar ini disebut dengan kompleks Batu Mayat. Di sebelah timur dan selatan kompleks batu mayat terdapat punden berundak. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian paling timur dari situs Pugungraharjo berupa batu berlubang, batu bergores, batu lumpang, dan punden berundak. Salah satu punden berundak yang terdapat di bagian ini merupakan punden terbesar. Selain itu, di sebelah selatan dari punden terbesar tersebut terdapat punden arca. Pada punden ini pernah ditemukan arca tokoh laki-laki duduk bersila dalam sikap vajrasana. Sikap tangan digambarkan dengan kedua telapak berada di depan dada, telunjuk kiri mengarah ke atas, telunjuk kanan dibengkokkan di atas telunjuk kiri, jari-jari tangan lainnya dilipat. Sikap tangan seperti ini tidak lazim dalam ikonografi tetapi mendekati sikap naivedyamudra yang biasa dijumpai pada aliran tantris (Soekatno, 1985: 165 – 166).
Punden terbesar di situs Pugungraharjo dikenal dengan nama Punden VI. Punden VI berdenah bujur sangkar berukuran 12 x 12 m, dengan ketinggian sekitar 7 m. Punden ini terdiri dari 3 teras yang makin ke atas makin kecil ukurannya. Batas antara masing-masing teras diperkuat dengan batu-batu kali. Di sekeliling punden terdapat parit kecil. Pada bagian tengah keempat sisi punden terdapat jalan masuk dengan lebar sekitar 2 m. Jalan masuk ini menjorok keluar dan hanya sampai pada teras yang pertama. Di sisi kiri dan kanan jalan masuk terdapat semacam pipi tangga. Pada ujung sisi kiri dan kanan jalan masuk terdapat batu yang diletakkan menyerupai makara.
Selain punden di kompleks situs ini terdapat mata air Pugungraharjo. Pada mata air tersebut terdapat beberapa bentuk tinggalan budaya megalitik yang lain seperti batu bergores, batu lumpang, dan batu berlubang. Batu berlubang keseluruhannya berjumlah 19 buah. Selain di sumber mata air, tinggalan-tinggalan serupa juga ditemukan di aliran sungai kecil yang terdapat pada bagian selatan situs. Di lokasi ini terdapat 4 batu bergores. Bentuk goresan berupa garis-garis dengan lekukan sebesar jari namun jelas menunjukkan hasil aktifitas manusia (Triwuryani, 1998).
Canguk Gaccak dan Pugungraharjo sebagai ibukota keratuan memiliki pola yang sama. Pada areal pemukiman terdapat bangunan suci untuk sarana religi. Beberapa bangunan seperti dolmen dan menhir ditemukan pada kedua situs. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang religi kedua masyarakat pendukungnya adalah tradisi megalitik. Perkembangan religi yang terjadi di Canguk Gaccak dan Pugungraharjo terdapat perbedaan. Indikator berupa makam Islam di Canguk Gaccak menunjukkan bahwa tradisi megalitik berkembang ke tradisi Islam, sedangkan di Pugungraharjo terlihat ada proses perkembangan tradisi Hindu-Buddha.
Secara teoritis di sekitar pemukiman ibukota keratuan terdapat beberapa kampung yang lebih kecil. Di sekitar Canguk Gaccak tidak ditemukan adanya situs pemukiman yang lebih kecil. Tidak adanya pemukiman di sekitar Canguk Gaccak memberikan gambaran bahwa pemukiman ketika itu berpusat dan terkumpul di Canguk Gaccak. Cerita rakyat juga memberi gambaran bahwa pola pemukiman di Canguk Gaccak secara mengelompok. Di Canguk Gaccak terdapat beberapa kelompok keturunan seperti Buay Nunyai, Buay Unyi, Buay Subing, Buay Nuban, Buay Beliyuk dan beberapa buay lainnya yang bermukim secara bersama-sama di Canguk Gaccak. Pada masa-masa selanjutnya keturunan-keturunan itu membentuk klan Abung Siwo Migo yang terdiri sembilan marga (Warganegara, 1994: 8). Pemukiman masing-masing marga dari klan Abung tersebut tidak lagi di Canguk Gaccak.
Pugungraharjo sebagai ibukota keratuan ada kecenderungan mempunyai pemukiman lebih kecil yang ada di sekitarnya. Di sepanjang Way Sekampung terdapat beberapa situs dalam ukuran yang lebih kecil, mempunyai ciri budaya yang hampir sama yaitu megalitik. Situs-situs tersebut misalnya situs Jabung, Negarasaka, dan situs Meris.
Situs Jabung berupa benteng berbentuk segiempat panjang berukuran 118 x 150 meter. Susunan benteng terdiri dari parit (di luar) dan tanah bergunduk di bagian dalam. Jalan masuk benteng berada di sisi barat, utara, dan timur. Di dalam benteng, terdapat tinggalan dua susunan batu berurut dengan orientasi baratlaut-tenggara. Pada ujung batu berurut ini, di bagian tengah halaman, terdapat menhir berbentuk phallus seperti yang terdapat di kompleks batu mayat (Pugungraharjo). Di luar kompleks benteng, sebelah timur dan selatan terdapat gundukan tanah yang oleh masyarakat setempat dikatakan sebagai tempat pemakaman. Temuan lain adalah susunan batu membentuk pola tertentu yang disebut batu kandang. Pada bagian barat daya terdapat gundukan tanah yang tingginya mencapai 7 meter (Indraningsih, 1985: 8 – 9).
Situs Negarasaka merupakan kompleks megalitik yang terletak sekitar 350 m di sebelah barat situs Jabung. Di kompleks ini terdapat benteng seperti di kompleks Jabung dan Pugungraharjo. Struktur benteng terdiri dari gundukan tanah di luar parit bagian dalam, dan menyusul tanah gunduk di bagian paling dalam. Temuan terpenting dari kompleks ini adalah empat batu datar yang oleh penduduk dinamakan batu kursi, diatur berjajar membujur arah utara – selatan. Pada bagian bawah batu datar terdapat batu penyangga. Peninggalan megalitik ini berada di bagian bagian utara kompleks benteng (Indraningsih, 1985: 9).
Situs Meris berupa benteng tanah yang dikelilingi parit. Denah situs tidak beraturan terdiri satu halaman dengan luas sekitar 4,2 ha. Pada bagian dalam terdapat punden persegi yang hampir rata dengan tanah dengan sebaran batu-batu. Dilihat dari pola sebarannya, mungkin batu-batu tersebut merupakan makam dari masa Islam dengan orientasi utara – selatan. Selain itu di bagian barat terdapat sebaran batu besar seperti dolmen yang mempunyai seperti bentuk batu kandang. Pada bagian luar dua punden berundak (Triwuryani, 1998: 10 – 11).
Berdasarkan uraian perbandingan beberapa situs tersebut terdapat gambaran bahwa pada masa keratuan, pusat pemukiman berada pada anak sungai utama. Besaran situs lebih luas dari pada pemukiman pendukungnya. Di dalam pemukiman tersebut terdapat bangunan suci sebagai sarana aktifitas religi. Pada kasus Canguk Gaccak dan Pugungraharjo berupa bangunan megalitik.
Pemukiman Masa Pemerintahan Marga
Pada masa sistem pemerintahan marga berlaku di Lampung terdapat jenjang pemukiman Ketemenggungan yang membawahi beberapa kampung. Pemukiman Ketemenggungan dijumpai pada situs Benteng Minak Temenggung. Keberadaan situs Benteng Minak Temenggung berhubungan dengan etno-sejarah mengenai tokoh Minak Temenggung. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa Minak Temenggung adalah tokoh yang ada hubungannya dengan masyarakat Pagardewa. Sebagai tokoh besar Minak Temenggung memegang jabatan penting dalam membangun masyarakat Pagardewa di bawah naungan Kesultanan Banten. Selain tokoh Minak Temenggung, ada tokoh lainnya yaitu Minak Kerenggo. Tokoh ini merupakan penguasa benteng di sebarang sungai, sebelah timur Way Tulangbawang. Makamnya berada di Umbulan Tebing Suloh tepi sebelah barat Way Tulangbawang.
Situs Benteng Minak Temenggung berada di sebelah barat Way Tulangbawang, sebelah timur Kampung Penumangan. Secara administratif termasuk di dalam wilayah Kampung Penumangan, Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Tulangbawang. Berdasarkan gejala yang terlihat, benteng tersebut membujur dengan orientasi utara – selatan dengan panjang 600 hingga 800 m. Benteng terdiri dari dua gundukan tanah mengapit parit. Ujung utara benteng bermula pada Bawang Potat dan pada ujung selatan pada Bawang Bakon. Kawasan ini merupakan bagian paling hulu Way Tulangbawang, di sebelah hilinya merupakan pertemuan antara Way Kanan dan Way Kiri.
Pada bagian utara, antara kawasan benteng dan Way Tulangbawang terdapat makam Minak Temenggung dan Bawang Pukem. Makam Minak Temenggung berada di sebelah timur benteng. Di sebelah timur makam terdapat Bawang Pukem yang merupakan danau tapal kuda. Pada ujung utara benteng terdapat semacam sungai semusim yang berakhir di Bawang Pukem (Saptono, 2001: 19 – 20).
Berdasarkan keterkaitan antara situs Benteng Minak Temenggung dengan sistem pemerintahan marga terlihat bahwa situs tersebut merupakan pusat pemerintahan tertinggi di kawasan Lampung. Di tempat lain tidak pernah ditemukan adanya situs yang berkaitan dengan tokoh Temenggung atau Kerengga. Tokoh ini merupakan pejabat di bawah Sultan. Pemerintahan marga menurut Undang-undang Simbur Cahaya akan berkaitan erat dengan Kesultanan Palembang. Ketika Banten menguasai Lampung, mungkin sistem pemerintahan yang sudah berjalan tetap dipertahankan. Dengan demikian baik pada masa Kesultanan Palembang atau Kesultanan Banten pemukiman tersebut merupakan pusat pemerintahan Ketemenggungan, yaitu pemukiman pusat pemerintahan setingkat di bawah ibukota kesultanan.
Secara geografis lokasi situs Benteng Minak Temenggung yang berada pada bagian hilir pertemuan antara Way Kanan dan Way Kiri sangat strategis. Penempatan pada pertemuan dua sungai besar akan memudahkan dalam pola pertukaran yang bermanfaat bagi perkembangan pemukiman dan institusi pemerintahan itu sendiri. Pertukaran yang terjadi baik berupa pertukaran barang maupun informasi. Colin Renfrew dan Paul Bahn (1991: 310) serta Bugie Kusumohartono (1995: 105) mengacu pada Karl Polanyi menyatakan terdapat tiga model pertukaran yaitu reciprocity (timbal balik), redistribution (pembagian kembali), dan market exchange (pertukaran pasar). Pertukaran reciprocity adalah kewajiban memberi dan menerima di antara individu yang berbeda hubungan sosialnya. Pertukaran redistribution berkaitan dengan kewajiban membayarkan barang dan jasa kepada pemuka masyarakat, yang kemudian membagikan sebagian perolehannya untuk kepentingan umum atau hadiah. Sedangkan model market exchange, para pelakunya tidak memiliki ikatan sosial tertentu yang mewajibkan mereka untuk melakukan pertukaran dan dimungkinkan adanya tawar menawar di dalamnya. Pemukiman di situs Benteng Minak Temenggung akan memainkan ketiga model pertukaran tersebut.
Dilihat dari aspek keletakan geografisnya tergambar pola hubungan fungsional dendritic model Bronson. Model ini menggambarkan pola pemukiman mengikuti aliran sungai, dan membentuk sistem jaringan pertukaran barang model market exchange. Menurut asumsi Bennet Bronson, di daerah muara sungai akan ditemui pusat perdagangan. Di wilayah hulu, pada muara di mana sungai induk dimasuki dan ditemui anak sungai, akan ditemukan permukiman tingkat dua dan selanjutnya tingkat tiga. Di daerah paling hulu, di atas bentangan sungai terakhir yang dapat dilalui dengan alat angkutan air, akan ditemukan kelompok peramu yang bermatapencaharian mengumpulkan hasil hutan. Barang-barang komoditi ini disalurkan melalui permukiman tingkat tiga dan dua yang akhirnya sampai ke pusat perdagangan di daerah muara (Miksic, 1984: 10). Dihubungkan dengan pola pertukaran model market exchange dan pola dendritic model Bronson, tampak bahwa kawasan Benteng Minak Temenggung berperan sebagai pusat perdagangan yang menghubungkan antara kawasan pedalaman dengan daerah luar.
Jenjang di bawah pemukiman Ketemenggungan adalah kampung atau menurut istilah Lampung adalah tiyuh. Pada sepanjang sungai besar banyak dijumpai situs-situs pemukiman yang merupakan pemukiman tingkat marga. Situs-situs tersebut misalnya situs Benteng Sabut di aliran Way Kiri dan situs Batu Putih di aliran Way Kanan.
Situs Benteng Sabut berada di Kampung Gunungkatun, Kecamatan Tulang Bawang Udik (Saptono, 2002: 88 – 89). Secara geografis berada pada barat laut kelokan Way Kiri. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Sungai tersebut kemudian membelok ke arah timur dan bermuara di Way Kiri. Fetur benteng berupa cekungan (parit) dan gundukan tanah. Pada sisi utara terdapat cekungan memanjang dengan arah timur barat, bermula dari Way Kiri dan berakhir hingga Way Pikuk. Lebar cekungan sekitar 2 m dengan kedalaman bervariasi antara 0,5 – 1 m. Di sebelah selatan cekungan tersebut, berjarak sekitar 50 m terdapat benteng parit berdenah segi empat.
Parit sisi utara bermula dari Way Kiri ke arah barat sepanjang sekitar 100 m. Pada pertengahan terdapat bagian yang tidak digali dengan lebar sekitar 4 m. Parit sisi barat merupakan kelanjutan sisi utara. Parit membujur arah utara - selatan sepanjang sekitar 75 m. Parit sisi barat kemudian berbelok ke arah timur dan berakhir di Way Kiri. Parit sisi selatan ini sudah tidak begitu dalam, lebarnya juga susah dikenali lagi. Pada sisi timur merupakan aliran Way Kiri. Di sebelah selatan benteng parit terdapat makam kuna. Tokoh yang dimakamkan adalah Menak Sendang Belawan.
Situs Batu Putih berada di wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang (Saptono, 2006: 94). Situs berada di tepi sebelah selatan Way Kanan. Pada tepi sebelah selatan Way Kanan terdapat tanggul alam yang membujur dari arah timur laut (tepi Way Kanan) ke arah barat daya. Semakin ke arah barat daya tanggul alam tersebut semakin tinggi. Dengan adanya tanggul alam ini lokasi situs Batu Putih merupakan dataran limpah banjir yang sangat subur.
Pada bagian barat daya, di atas tanggul alam, terdapat makam Menak Pangeran Buay Sugih. Keadaan makam tanpa jirat dan sebelumnya juga tanpa nisan. Nisan yang ada sekarang merupakan nisan baru. Makam dilengkapi cungkup dari bahan bilik bambu. Di sekitar makam Menak Pangeran Buay Sugih, terutama di sebelah selatannya terdapat beberapa makam yang merupakan makam masyarakat. Indikator bekas pemukiman yang terdapat di situs Batu Putih berupa sebaran fragmen artefak.
Pemukiman di situs Benteng Sabut dibatasi parit dan benteng tanah, sedang di Batu Putih tidak dijumpai adanya parit dan benteng tanah, tetapi dibatasi sungai alam dan tanggul alam. Unsur yang sama dijumpai di kedua situs tersebut adalah makam tokoh utama. Adanya makam tokoh utama menggambarkan adanya perubahan dalam sistem religi masa pra-Islam yang ditandai dengan bangunan megalitik dengan masa Islam yang ditandai dengan makam tokoh utama. Secara substansial sistem religi yang berlangsung tetap sama yaitu unsur pemujaan kepada arwah leluhur.
Masyarakat yang tinggal dalam satu kampung mempunyai tanah garapan (ladang) yang disebut dengan istilah umbulan. Selama masa pengerjaan ladang mereka bermukim di lokasi itu. Permukiman yang ada pada umbulan cenderung bersifat sementara. Masyarakat Bandardewa di Tulangbawang mempunyai umbulan di Bakung Nyelai dan Jung Belabuh (Tim Penelitian, 2007: 19 – 21). Situs Bakung Nyelai berada di tepi Way Bakung Nyelai. Sungai ini merupakan anak Way Tulangbawang. Indikator aktivitas manusia pada masa lampau berupa fragmen keramik, fragmen tembikar, kaca, serta kerak besi. Sebaran artefak berada pada lahan seluas sekitar 3.600 m2. Situs Jung Belabuh berada di tepi Tulung Kalutum yang merupakan anak Way Miring. Luas situs sekitar 5 hektar, dibatasi benteng tanah dan parit. Umbulan ini sebelumnya adalah kampung Bandar Dewa, karena kondisinya tidak dapat berfungsi maksimal, maka masyarakat pindah ke kampung Bandar Dewa sekarang. Lokasi ini kemudian dijadikan umbulan. Di lokasi situs terdapat sebaran keramik dan tembikar dalam areal seluas sekitar 1.600 m2. Dilihat dari kedua situs umbulan tersebut, tergambar bahwa umbulan berada pada tepi anak sungai. Areal yang dihuni tidak terlalu luas. Meskipun umbulan hanya merupakan permukiman sementara, berdasarkan artefak yang ada menunjukkan adanya aktivitas beragam.
Simpulan
Masyarakat Lampung secara tradisional memiliki sistem pemerintahan sendiri yang disebut keratuan. Sistem pemerintahan ini diperkirakan berkembang setelah runtuhnya Kerajaan Tulangbawang atau pada masa Kerajaan Sriwijaya. Ketika Kesultanan Palembang menguasai sebagian besar Sumatera terbentuk sistem pemerintahan marga. Di Lampung sistem marga tetap berlangsung hingga masa kekuasaan Kesultanan Banten.
Pada masa pemerintahan keratuan pusat pemukiman cenderung berada di tepi anak sungai sedangkan desa yang merupakan pemukiman lebih kecil berada di tepian sungai besar. Model pemukiman ibukota keratuan dikelilingi benteng tanah dan parit. Pada pemukiman tersebut dilengkapi bangunan suci untuk kepentingan religi.
Pada sistem pemerintahan marga terdapat pemukiman ketemenggungan dan desa. Ketemenggungan merupakan pusat pemerintahan setingkat di bawah kesultanan. Di Lampung pemukiman ketemenggungan terdapat di hulu Way Tulangbawang. Pemukiman itu disebut Benteng Minak Temenggung. Keberadaan pada hulu sungai besar dekat dengan pertemuan dua sungai sangat strategis karena menunjang pola distribusi yang bermanfaat bagi keberlangsungan pemukiman tersebut.
Pada sepanjang sungai besar yang berada di wilayah hulu ketemenggungan dijumpai kampung-kampung sebagai pemukiman setingkat marga. Kampung tersebut dibatasi benteng tanah dan parit atau sungai alam. Unsur penting dalam pemukiman marga adalah makam tokoh utama. Keberadaan makam tokoh utama untuk memenuhi fungsi religi yang secara substansial berhubungan dengan pemujaan kepada arwah leluhur.
Umbulan sebagai permukiman terkecil biasanya berada di tepi anak sungai. Areal umbulan ada yang dibatasi benteng tanah dan parit, ada pula yang tidak berbenteng. Berdasarkan artefak yang terdeposisikan di situs umbulan, aktivitas masyarakat penghuninya juga berragam.
Daftar Pustaka
Alf, Achjarani. 1954. Ngeberengoh “Sedar”. Tanjungkarang.
Childe, V. Gordon. 1979. The Urban Revolution. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus, hlm. 12 – 17. Durham: Carolina Academic Press.
Flannery, Kent V. 1979. The Cultural Evolution of Civilizations. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus, hlm. 26 – 32. Durham: Carolina Academic Press.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Imron dan Iskandarsyah. 2002. Cerita Rakyat Daerah Lampung. Bandar Lampung: Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung.
Indraningsih, J. Ratna et al. 1985. Laporan Penelitian Arkeologi di Lampung. Berita Penelitian Arkeologi No. 33. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kusumohartono, Bugie. 1995. Model Pertukaran Pada Masyarakat Nusantara Kuna: Kajian (Pengujian) Arkeologis. Dalam Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi, Tahun XV, Edisi Khusus, 1995, hlm 105 – 110. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Melinting, Dalom Ratu. 1988. Adat Istiadat Lampung Melinting. Metro: Atlantik.
Miksic, John N. 1984. Penganalisaan Wilayah dan Pertumbuhan Kebudayaan Tinggi di Sumatra Selatan. Dalam Berkala Arkeologi V (1) Maret 1984, hlm. 9 – 24. Balai Arkeologi Yogyakarta.
Mintosih, Sri (et. al.) 1993. Sistem Pemerintahan Tradisional Daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rapoport, Amos. 1986. “Tentang Asal-usul Kebudayaan Permukiman”. Dalam Anthony J. Catanese, (et al.). Pengantar Sejarah Perencanaan Perkotaan, hlm. 21 – 44. Bandung: Intermedia.
Renfrew, Colin and Paul Bahn. 1991. Archaeology: Theories, Methods and Practice. London: Thames and Hudson.
Saptono, Nanang. 2001. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Ragam Aktifitas dan Rancang Bangun Benteng di Daerah Tulangbawang, Propinsi Lampung. Balai Arkeologi Bandung.
----------. 2002. Hubungan Fungsional Situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol. Dalam Agus Aris Munandar (ed). Jelajah Masa Lalu, hlm. 86 – 101. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
----------. 2006. Konsepsi dan Struktur Pemukiman di Situs Batu Putih, Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris Munandar (ed). Widyasancaya, hlm. 91 – 102. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Sevin, Olivier. 1989. History and Population. Dalam Transmigration, hlm. 13 – 123. Jakarta: ORSTOM – Departemen Transmigrasi Republik Indonesia.
Soebing, Abdullah A. 1988. Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress.
Soejono, R.P. (ed.). 1992. Jaman Prasejarah di Indonesia. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekatno, Endang Sh. 1985. Catatan Tentang Arca dari Masa Klasik dari Pugungraharjo, Lampung. Dalam Rapat EvaluasiHasil Penelitian Arkeologi II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuna. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penelitian. 2006. Laporan Penelitian Awal Situs-situs Keratuan di Propinsi Lampung. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung – Balai Arkeologi Bandung.
Tim Penelitian. 2007. Laporan Penelitian Arkeologi: Penelitian Arkeologi Permukiman Situs Bakung Nyelai dan Situs Jung Belabuh, Tulangbawang Tengah, Lampung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Triwuryani, RR. 1998. “Pola Persebaran Situs Benteng di Sepanjang DAS Sekampung: Ditinjau dari Kajian Wilayah”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Ujungpandang 20-26 September 1996. (belum diterbitkan).
Troe, Adnand (et all.). 1997. Menyelami Tulangbawang. Menggala: Pemerintah Kabupaten Tulangbawang dan Tulangbawang Enterprise.
Warganegara, Marwansyah. 1994. Riwayat Orang Lampung. (naskah tidak diterbitkan).
Wiryomartono, A. Bagoes P. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Yudha, Ahmad Kesuma. 1995. Perspektif Sosiologis Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang (belum diterbitkan).
Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di Buku Permukiman, Lingkungan, dan Masyarakat.
Editor Dr. Supratikno Rahardjo. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2007.
* Nanang Saptono, Peneliti bidang Arkeologi Permukiman pada Balai Arkeologi Bandung
Sumber: http://arkeologilampung.blogspot.com, 2 April 2008 dan Melayu Online, 1 November 2008
Manusia mengenal permukiman diperkirakan sejak masa mesolitik. Mereka bermukim secara mengelompok di tempat-tempat yang keadaan alamnya dapat memenuhi kehidupan, misalnya di gua-gua yang dekat dengan sumber makanan atau tempat-tempat terbuka di pinggir sungai, danau, atau pantai (Soejono, 1992: 155 - 156). Pada masa neolitik, yaitu ketika sudah dikenal bercocok tanam, mulai ada tanda-tanda hidup menetap di suatu perkampungan sederhana yang didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga. Kegiatan-kegiatan dalam kehidupan perkampungan yang terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan bersama, mulai diatur dan dibagi antar anggota masyarakat (Soejono, 1992: 167-168). Pada masa ini pun juga merupakan awal dikenalnya suatu sistem organisasi sosial.
Permukiman yang semula hanya sederhana lama-kelamaan berkembang hingga pada keadaan yang mapan (menjadi suatu kota). Perkembangan permukiman hingga menjadi suatu kota seiring dengan perkembangan peradaban manusia pendukungnya. Dapat dikatakan semakin cepat laju evolusi peradaban, semakin cepat pula mapannya suatu pemukiman. Menurut Gordon Childe (1979: 12 - 14) evolusi peradaban manusia dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu savagery, barbarism, dan civilization. Tahap savagery dianggap sebagaimana masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa ini belum dikenal adanya hukum dan tata pemerintahan. Tahap barbarism merupakan masyarakat bercocok tanam yang sudah mengenal hukum dan tata pemerintahan secara sederhana dalam kelompok yang terbatas dan tertutup. Sedangkan pada tahap civilization adalah suatu masyarakat agrikultur dan industri. Kelompok masyarakat ini sudah mengenal tata pemerintahan dan hukum adat yang telah teratur.
Selain Childe, Flannery juga membagi evolusi peradaban menjadi tiga tahap. Dasar pembagiannya pada adanya pemimpin dan penguasa. Menurut Flannery (1979: 28 - 30) tahap evolusi peradaban terdiri dari egalitarian society, chiefdoms, dan stratified society. Masyarakat egaliter menganggap bahwa semua derajad manusia dalam masyarakat adalah sama, tidak ada tingkatan maupun clas. Masyarakat chiefdoms sudah ada pembagian clas antara pemimpin dan yang dipimpin. Sedangkan stratified society merupakan masyarakat heterogen dengan berbagai clas dan tingkatan. Kelompok masyarakat ini terwujud dalam suatu perkotaan.
Pengertian tentang “kota”, hingga saat ini belum terdapat suatu batasan yang dapat diterapkan secara universal. Pada kebudayaan yang berbeda-beda, elemen-elemen yang berbeda telah digunakan sebagai persyaratan minimum bagi sebuah permukiman untuk dapat disebut sebagai kota. Sebagai contoh di dunia hellenistik, suatu tempat dikatakan kota apabila ada elemen-elemen meliputi teater, gimnasium, dan prytaneion. Di dunia Islam jaman pertengahan elemen kota meliputi masjid, pasar, dan tempat mandi publik. Di Eropa pemukiman kota terdiri benteng pertahanan, pasar, dan tempat pengadilan (Rapoport, 1986: 22 - 23). Pada jaman kejayaan kesultanan Islam di Indonesia, sudah dapat dikatakan “kota” apabila sudah dilengkapi kraton sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai pusat kegiatan ibadah (ritual), dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi serta kadang-kadang juga taman. Dengan demikian keanekaragaman pengertian kota disebabkan pula karena perkembangan zaman yang mengakibatkan terjadinya perubahan.
Keberadaan kota cenderung dikaitkan dengan kekuatan politis yang sudah mantap. Di nusantara khususnya Jawa banyak prasasti yang memberikan keterangan bahwa negara-negara sebelum Singasari zaman Kertanegara tidak menghasilkan kedaulatan/kekuasaan kerajaan yang mantap. Meskipun pura atau kuta sudah dikenal dalam prasasti sejak abad ke-5, namun penerapan konsep negara dengan pusat kekuasaan yang mantap dan bermasyarakat kota belum tampak sebelum abad ke-14. Sehingga kota pertama di nusantara yang mungkin sudah mempunyai struktur permukiman kota adalah Trowulan, kota Majapahit (Wiryomartono, 1995: 1).
Sebelum zaman Majapahit yaitu sekitar abad ke-8 di kerajaan Mataram kuna sudah terdapat suatu pemukiman berjenjang yang terdiri atas daerah pusat kerajaan, watak, dan wanua. Pada pusat kerajaan yaitu ibukota di mana berdiri istana merupakan tempat Sri Maharaja dan tempat tinggal para putra raja dan kaum kerabat dekat, para pejabat tinggi kerajaan serta para abdi dalem. Daerah-daerah watak, yaitu daerah yang dikuasai para rakai dan pamgat, serta daerah wanua atau desa yang dipimpin oleh rama (Sumadio, 1990: 190). Konsep tentang wanua di daerah Kayuagung, Komering, dan Lampung mempunyai pengertian sedikit berbeda. Wanua atau Banua atau hanya disebut Nua dalam lingkungan bahasa Austronesia tidak merujuk pada permukiman urban. Wanua lebih dekat pada gagasan mengenai permukiman masyarakat desa dengan status sosial, politik, dan ekonomi yang otonom. Kalimat maruwat wanua dalam prasasti Kedukan Bukit dapat diartikan pentasbihan untuk pembinaan desa otonom yang di kemudian hari menjadi daerah utama Sriwijaya. Lebih dekat dengan makna wanua adalah rumah yang perlu peresmian (Wiryomartono, 1995: 17). Di kalangan masyarakat Tulangbawang istilah Nua (dialek setempat menyebutnya Nuwou) mengacu pada satuan pemukiman terkecil yaitu rumah. Satuan pemukiman yang lebih tinggi setingkat wanua disebutnya tiyuh, anek, atau pekon (Troe, 1997: 129). Jenjang pemukiman sebagaimana zaman Kerajaan Mataram Kuna di Jawa sangat dipengaruhi oleh jenjang dalam strata pemerintahan. Kaitan jenjang pemukiman dengan strata dalam pemerintahan berlanjut terus hingga masa Mataram Islam bahkan hingga sekarang.
Di Lampung belum ditemukan indikator adanya pusat kekuatan politis berupa kerajaan sebagaimana Mataram, Majapahit, serta Kesultanan Banten di Jawa atau Sriwijaya, Melayu, serta Kesultanan Palembang di Sumatera. Belum ditemukannya indikator adanya kekuatan politis ini tidak berarti di Lampung tidak mengenal sistem organisasi pemerintahan. Kelompok masyarakat yang menempati suatu tiyuh sudah mengenal sistem pemerintahan dalam bentuk organisasi masyarakat adat. Dengan adanya sistem organisasi ini diasumsikan terdapat jenjang pemukiman masyarakat Lampung.
Pemerintahan Adat Masyarakat Lampung
Masyarakat Lampung berdasarkan legenda dan bukti-bukti tinggalan arkeologis mula-mula terkonsentrasi di Sekala Berak, yaitu kawasan Pegunungan Bukit Barisan sekitar Danau Ranau, Lampung Barat. Di kawasan ini banyak ditemukan monumen megalitik berupa kompleks dolmen dan menhir pada areal yang dibatasi parit dan benteng tanah. Diperkirakan, karena tekanan perkembangan populasi yang kuat menyebabkan terjadi migrasi ke seluruh Lampung. Olivier Sevin (1989: 49 – 69) memperkirakan sebagai masyarakat asli Lampung adalah orang Pubian yang menempati kawasan antara Padangratu, Kota Agung, Teluk Betung, serta wilayah selatan Gunung Sugih di mana kawasan ini dibelah Way Sekampung. Pada sekitar abad ke-17 hingga ke-19 terjadi gelombang migrasi dari luar memasuki Lampung. Pada sekitar abad ke-17 terjadi gelombang migrasi dari Banten. Selanjutnya pada abad ke-19 terjadi kolonisasi dari Jawa. Menurut tradisi sejarah lisan, emigran yang masuk ke Lampung juga berasal dari Pagaruyung, Bengkulu, Jambi, masyarakat Melayu, dan Bugis (Warganegara, 1994: 3 – 13; Hadikusuma, 1989: 44 – 52).
Masyarakat Lampung sebelum mendapat pengaruh peradaban dari luar seperti India (Hindu Buddha) sudah mengenal semacam pemerintahan demokratis dengan bentuk marga. Di dalam pemerintahan marga terdapat kelengkapan fisik berupa sesat, yaitu rumah besar yang berfungsi untuk tempat berunding (Alf, 1954: 5). Menurut Ahmad Kesuma Yudha dengan mengacu pada pendapat J.W. Naarding (Yudha, 1996: 3), pemerintahan marga dikenal setelah kerajaan Tulangbawang punah. Kekosongan pemerintahan ini dimanfaatkan Sriwijaya menguasai Lampung dan memperkenalkan sistem pemerintahan adat marga. Sistem ini berlangsung terus hingga kemudian Banten menguasainya.
Ketika Banten memasuki Lampung pada tahun 1530, daerah Lampung terbagi dalam wilayah keratuan (persekutuan hukum adat) yang terdiri Keratuan di Puncak menguasai wilayah Abung dan Tulangbawang, Keratuan Pemanggilan menguasai wilayah Krui, Ranau, dan Komering, Keratuan di Pugung menguasai wilayah Pugung dan Pubian, serta Keratuan di Balau menguasai wilayah sekitar Teluk Betung. Ketika Banten berpengaruh kuat di Lampung, Keratuan di Pugung terbagi lagi dan berdiri Keratuan Maringgai (Melinting) dan Keratuan Darah Putih (Kalianda). Dengan demikian setelah punahnya Kerajaan Tulangbawang di Lampung tidak dikenal adanya pemerintahan dalam bentuk kerajaan tetapi yang berkembang adalah sistem pemerintahan demokratis dalam bentuk keratuan (Soebing, 1988: 35).
Pada sekitar abad ke-17 – 18 keratuan tersebut membentuk pemerintahan persekutuan adat berdasarkan buay (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan buay inti atau klan) dan marga (kesatuan dari bagian buay atau jurai dalam bentuk kesatuan kampung atau suku (Hadikusuma, 1989: 157). Sistem pemerintahan marga di Sumatera diciptakan oleh Kesultanan Palembang dalam rangka upaya menguasai kehidupan politik dan perekonomian daerah-daerah yang berada di bawahnya (Mintosih, 1993: 42 – 45). Sistem pemerintahan marga cenderung lebih birokratis untuk kepentingan kehidupan sosial politik yang lebih besar dan kompleks. Berbeda dengan sistem kepemimpinan tradisional seperti keratuan di Lampung, pemerintahan marga merupakan bagian dari sistem pemerintahan otoriter di mana para pemimpinnya dipilih dan diangkat secara rasional (tidak secara turun temurun) oleh pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Pembentukan marga mengacu pada Undang-undang Simbur Cahaya, yaitu suatu kodifikasi ketentuan hukum kerajaan yang berlaku abad ke-17 di wilayah Kesultanan Palembang. Kodifikasi undang-undang itu dilakukan oleh Ratu Sinuhun Sending, permaisuri Sultan Sending Kenayan (1629 – 1636).
Hierarki pemerintahan di bawah sultan terdiri dari daerah-daerah yang dipimpin pejabat setingkat gubernur masa sekarang yang disebut Rangga, Kerangga, atau Tumenggung. Wilayah kekuasaannya disebut Ketemenggungan. Daerah kekuasaan Rangga terdiri beberapa Marga yang dipimpin Pesirah Marga. Para pesirah yang banyak berjasa kepada sultan diberi gelar Adipati atau Depati. Sebuah marga terdiri sejumlah desa yang dipimpin Kerio atau Proatin. Kepala desa yang di desanya terdapat Pesirah tidak disebut Kerio tetapi disebut Pembarap. Kedudukan pembarap sedikit lebih tinggi dari kerio, karena pembarap juga merupakan wakil Pesirah. Setiap desa terdiri beberapa kampung yang dipimpin Penggawa. Pada tahun 1826 sistem pemerintahan marga diambil alih pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sejak itu dalam struktur pemerintahan, marga berada di bawah dan tunduk kepada kekuasaan Residen.
Perubahan kekuasaan di tangan kolonial Belanda tidak banyak merubah sistem pemerintahan adat masyarakat lampung. Pada tahun 1873, Belanda menetapkan Karesidenan Lampung dibagi dalam enam Onder Afdeeling (Kawedanaan). Pada tahun 1928, Belanda menetapkan Ordonansi yang disebut Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan. Dengan peraturan ini, marga diberi legitimasi struktural dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kepala-kepala marga (Pasirah) dipilih dari para pemimpin adat tingkat marga. Ketika Jepang berkuasa seluruh sistem adat tidak berjalan.
Memasuki masa pemerintahan RI, pada tahun 1947 sistem pemerintahan marga dihapus karena dianggap warisan kolonial. Pada tahun 1953 diberlakukan sistem pemerintahan nagari sebagaimana lembaga nagari di Sumatra Barat. Sistem nagari akhirnya tidak dapat berkembang dan akhirnya lenyap. Selanjutnya sistem pemerintahan mengikuti peraturan yang berlaku hingga sekarang (Yudha, 1996: 4 – 6). Seiring dengan lenyapnya lembaga nagari, sistem marga hidup kembali, namun tidak punya kewenangan kekuasaan untuk mengatur pemerintahan. Sistem pemerintahan marga berlangsung hingga tahun 1976. Undang-undang Nomor 10 tahun 1975 tentang Pengaturan Pemerintahan Daerah menghapus sitem pemerintahan tradisional di seluruh Indonesia.
Beberapa Situs Dalam Jenjang Pemukiman
Ibukota Keratuan
Masyarakat Lampung sejak sebelum ada pengaruh kekuatan politik besar dari luar sudah mengenal sistem pemerintahan dalam bentuk keratuan. Berdasarkan tradisi lisan dan peninggalan arkeologis yang ada, sistem pemerintahan keratuan berlangsung mulai akhir masa prasejarah. Pembentukan keratuan salah satunya dipengaruhi oleh tekanan pertumbuhan penduduk yang pada waktu itu terjadi di kawasan Sekala Berak. Beberapa tinggalan arkeologis di kawasan Sekala Berak yang berupa monumen megalitik merupakan bukti kuat sudah dikenalnya sistem kepemimpinan. Pada mulanya setidak-tidaknya terdapat empat keratuan yaitu Keratuan di Puncak, Keratuan Pemanggilan, Keratuan di Pugung, serta Keratuan di Balau. Berdasarkan tradisi lisan dikisahkan bahwa sistem pemerintahan keratuan cenderung bersifat egaliter. Pemimpin merupakan seorang yang kharismatik, terpilih secara spontan karena kelebihan yang dimilikinya.
Institusi keratuan menunjukkan ciri masyarakat chiefdom yang sudah lebih maju dari pada masyarakat egaliter karena sudah mengenal sistem pemerintahan. Masyarakat demikian ini merupakan masyarakat early state yang sudah mengenal hukum walaupun aturan-aturan yang dikenalnya merupakan otoritas mutlak pemimpinnya. Masyarakat demikian biasanya dalam satu kerabat. Pertanian adalah matapencaharian utama dengan ditunjang usaha kerajinan. Pada pusat pemukiman terdapat bangunan induk bersifat komunal. Biasanya juga dilengkapi bangunan suci untuk sarana religi. Tempat tinggal penguasa juga berfungsi sebagai pusat administrasi birokrasi. Sebagai ibukota, pemukiman ini dikelilingi beberapa kampung-kampung yang lebih kecil (Renfrew & Bahn, 1991: 156 – 157).
Berdasarkan tradisi sejarah lisan, paling tidak terdapat dua lokasi pemukiman masyarakat sebagai ibukota keratuan yaitu Canguk Gaccak sebagai ibukota Keratuan di Puncak (Warganegara, 1994: 6) dan Pugung sebagai ibukota Keratuan di Pugung yang dipimpin Ratu Galuh (Melinting, 1988: 14).
Situs Canguk Gaccak berada di Kampung Sekipi, Kecamatan Abung Tinggi, Lampung Utara (Tim Penelitian, 2006). Situs Canguk Gaccak berada di tepi Way Abung, yang merupakan anak Way Rarem. Di sebelah utara sungai terdapat lahan yang dibatasi sungai alam serta parit dan benteng tanah buatan. Parit dan benteng tanah berada di bagian timur, melintang dengan orientasi utara – selatan menghubungkan dua aliran sungai. Di bagian dalam lahan terdapat kompleks dolmen, batu melingkar (stone enclouser), dan menhir terdiri dua belas kelompok.
Pada lahan yang berada di sebelah selatan sungai terdapat kompleks makam terdiri dua kelompok. Kelompok makam pertama berada pada lahan di tepi sawah. Tokoh utama yang dimakamkan adalah Minak Raja Di Lawuk, berada di bagian paling timur. Kondisi makam yang terlihat sekarang tidak dilengkapi jirat. Batas makam berupa jajaran batu andesitik. Nisan makam merupakan tipe Aceh berbentuk gada dari bahan batuan granodiorit. Di bagian paling barat terdapat makam Paksi Tuan Guru. Tokoh ini merupakan keturunan Minak Trio Diso.
Kelompok makam kedua berada di sebelah barat kelompok makam pertama. Kelompok makam berada pada lahan setinggi sekitar 3 m dari permukaan lahan sawah. Pada tangga masuk sebelah timur menuju makam terdapat batu berdiameter sekitar 25 cm. Batu tersebut merupakan lambang kepala Minak Raja Di Lawuk, yang harus diinjak oleh keturunan Minak Trio Diso ketika akan berziarah. Pada kompleks makam terdapat tiga makam. Makam paling timur merupakan makam Minak Dara Putih atau Hyang Mudo, makam yang ditengah merupakan makam Minak Trio Diso, dan yang di utara adalah makam Syekh Abdurrahman.
Cerita rakyat daerah Lampung tentang Kisah Betan Subing menyebutkan bahwa Minak Raja Di Lawuk adalah tokoh yang berhasil mengalahkan Datu Di Puncak. Minak Raja Di Lawuk kemudian dikalahkan oleh Betan Subing, salah satu anak Datu Di Puncak. Untuk mengembalikan kehormatan Datu Di Puncak, kepala Minak Raja Di Lawuk dikubur di tengah jalan yang dilalui orang jika akan ke makam Datu Di Puncak, yaitu antara tepi sungai dengan makam Datu Di Puncak (Imron dan Iskandarsyah, 2002: 20 - 46). Apabila mengacu pada cerita ini maka tokoh utama yang dimakamkan di kompleks ini adalah Datu Di Puncak.
Di sebelah tenggara kompleks makam Minak Trio Diso berjarak sekitar 300 m terdapat bukit kecil yang dinamakan Gunung Rimba Bekasan. Di atas bukit terdapat lahan seluas sekitar 1 ha yang dikelilingi parit dan sungai. Parit di sisi timur lebarnya sekitar 50 cm. Parit di sisi selatan lebarnya sekitar 10 m dengan kedalaman sekitar 6 m. Sisi barat dan utara merupakan aliran sungai Pasuut yang merupakan anak Way Abung.
Pada lahan yang dikelilingi parit dan sungai, terdapat makam keramat berorientasi barat laut – tenggara. Tokoh yang dimakamkan terdiri dari Minak Dara Putih (barat daya), Rendang Sedayu (tengah), dan Minak Munggah Di Abung (timur laut). Rendang Sedayu dikenal sebagai salah satu isteri Minak Trio Diso. Tokoh ini juga dikenal dengan sebutan Raja Lemaung. Ketiga makam tersebut tidak dilengkapi jirat. Nisan sebagai penanda makam berbentuk pipih dan beberapa kumpulan batu.
Selain Canguk Gaccak, ibukota keratuan yang disebutkan dalam cerita rakyat adalah Pugung. Sebutan Pugung sekarang dikenal dengan nama Pugungraharjo. Situs Pugungraharjo secara administratif termasuk wilayah Desa Pugungraharjo, Kecamatan Jabung. Situs Pugungraharjo menempati areal seluas kurang lebih 30 ha. Di sebelah selatan situs terdapat aliran Way Pugung yang menjadi batas situs. Way Pugung merupakan anak Way Sekampung. Lahan situs dikelilingi fetur benteng tanah dan parit. Lebar benteng tanah sekitar 5 m, sedangkan tingginya 2 – 3 m. Di bagian luar benteng terdapat parit yang lebarnya 3 – 5 m. Di beberapa tempat pada benteng terdapat jalan masuk. Dengan adanya benteng tanah tersebut, areal situs terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama berada pada bagian paling barat. Sisi utara bagian pertama ini dibatasi benteng tanah yang membujur arah barat daya - timur laut kemudian berbelok ke arah tenggara. Benteng tersebut kemudian berbelok lagi ke arah selatan sampai pertemuan dengan sungai. Bagian kedua situs terdapat di sebelah timur bagian pertama. Bagian kedua ini juga dibatasi oleh adanya benteng tanah yang membujur arah barat - timur. Benteng tanah tersebut kemudian berbelok ke selatan. Bagian ketiga dari areal situs tersebut terdapat di bagian paling timur. Bagian ini tidak dibatasi oleh adanya benteng tanah.
Tinggalan-tinggalan arkeologis yang terdapat di situs Pugungraharjo terdiri dari bermacam-macam bentuk, diantaranya berupa batu berlubang, batu bergores, lumpang batu, menhir, dan punden berundak. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian pertama berupa batu berlubang, batu bergores, dan punden berundak. Pada bagian kedua terdapat susunan menhir dan batu altar yang membentuk denah segi empat. Pada salah satu menhir terdapat pahatan yang membentuk garis melingkar di kedua ujungnya. Sedangkan pada salah satu batu altar terdapat pahatan yang membentuk huruf T. Susunan menhir dan batu altar ini disebut dengan kompleks Batu Mayat. Di sebelah timur dan selatan kompleks batu mayat terdapat punden berundak. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada bagian paling timur dari situs Pugungraharjo berupa batu berlubang, batu bergores, batu lumpang, dan punden berundak. Salah satu punden berundak yang terdapat di bagian ini merupakan punden terbesar. Selain itu, di sebelah selatan dari punden terbesar tersebut terdapat punden arca. Pada punden ini pernah ditemukan arca tokoh laki-laki duduk bersila dalam sikap vajrasana. Sikap tangan digambarkan dengan kedua telapak berada di depan dada, telunjuk kiri mengarah ke atas, telunjuk kanan dibengkokkan di atas telunjuk kiri, jari-jari tangan lainnya dilipat. Sikap tangan seperti ini tidak lazim dalam ikonografi tetapi mendekati sikap naivedyamudra yang biasa dijumpai pada aliran tantris (Soekatno, 1985: 165 – 166).
Punden terbesar di situs Pugungraharjo dikenal dengan nama Punden VI. Punden VI berdenah bujur sangkar berukuran 12 x 12 m, dengan ketinggian sekitar 7 m. Punden ini terdiri dari 3 teras yang makin ke atas makin kecil ukurannya. Batas antara masing-masing teras diperkuat dengan batu-batu kali. Di sekeliling punden terdapat parit kecil. Pada bagian tengah keempat sisi punden terdapat jalan masuk dengan lebar sekitar 2 m. Jalan masuk ini menjorok keluar dan hanya sampai pada teras yang pertama. Di sisi kiri dan kanan jalan masuk terdapat semacam pipi tangga. Pada ujung sisi kiri dan kanan jalan masuk terdapat batu yang diletakkan menyerupai makara.
Selain punden di kompleks situs ini terdapat mata air Pugungraharjo. Pada mata air tersebut terdapat beberapa bentuk tinggalan budaya megalitik yang lain seperti batu bergores, batu lumpang, dan batu berlubang. Batu berlubang keseluruhannya berjumlah 19 buah. Selain di sumber mata air, tinggalan-tinggalan serupa juga ditemukan di aliran sungai kecil yang terdapat pada bagian selatan situs. Di lokasi ini terdapat 4 batu bergores. Bentuk goresan berupa garis-garis dengan lekukan sebesar jari namun jelas menunjukkan hasil aktifitas manusia (Triwuryani, 1998).
Canguk Gaccak dan Pugungraharjo sebagai ibukota keratuan memiliki pola yang sama. Pada areal pemukiman terdapat bangunan suci untuk sarana religi. Beberapa bangunan seperti dolmen dan menhir ditemukan pada kedua situs. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang religi kedua masyarakat pendukungnya adalah tradisi megalitik. Perkembangan religi yang terjadi di Canguk Gaccak dan Pugungraharjo terdapat perbedaan. Indikator berupa makam Islam di Canguk Gaccak menunjukkan bahwa tradisi megalitik berkembang ke tradisi Islam, sedangkan di Pugungraharjo terlihat ada proses perkembangan tradisi Hindu-Buddha.
Secara teoritis di sekitar pemukiman ibukota keratuan terdapat beberapa kampung yang lebih kecil. Di sekitar Canguk Gaccak tidak ditemukan adanya situs pemukiman yang lebih kecil. Tidak adanya pemukiman di sekitar Canguk Gaccak memberikan gambaran bahwa pemukiman ketika itu berpusat dan terkumpul di Canguk Gaccak. Cerita rakyat juga memberi gambaran bahwa pola pemukiman di Canguk Gaccak secara mengelompok. Di Canguk Gaccak terdapat beberapa kelompok keturunan seperti Buay Nunyai, Buay Unyi, Buay Subing, Buay Nuban, Buay Beliyuk dan beberapa buay lainnya yang bermukim secara bersama-sama di Canguk Gaccak. Pada masa-masa selanjutnya keturunan-keturunan itu membentuk klan Abung Siwo Migo yang terdiri sembilan marga (Warganegara, 1994: 8). Pemukiman masing-masing marga dari klan Abung tersebut tidak lagi di Canguk Gaccak.
Pugungraharjo sebagai ibukota keratuan ada kecenderungan mempunyai pemukiman lebih kecil yang ada di sekitarnya. Di sepanjang Way Sekampung terdapat beberapa situs dalam ukuran yang lebih kecil, mempunyai ciri budaya yang hampir sama yaitu megalitik. Situs-situs tersebut misalnya situs Jabung, Negarasaka, dan situs Meris.
Situs Jabung berupa benteng berbentuk segiempat panjang berukuran 118 x 150 meter. Susunan benteng terdiri dari parit (di luar) dan tanah bergunduk di bagian dalam. Jalan masuk benteng berada di sisi barat, utara, dan timur. Di dalam benteng, terdapat tinggalan dua susunan batu berurut dengan orientasi baratlaut-tenggara. Pada ujung batu berurut ini, di bagian tengah halaman, terdapat menhir berbentuk phallus seperti yang terdapat di kompleks batu mayat (Pugungraharjo). Di luar kompleks benteng, sebelah timur dan selatan terdapat gundukan tanah yang oleh masyarakat setempat dikatakan sebagai tempat pemakaman. Temuan lain adalah susunan batu membentuk pola tertentu yang disebut batu kandang. Pada bagian barat daya terdapat gundukan tanah yang tingginya mencapai 7 meter (Indraningsih, 1985: 8 – 9).
Situs Negarasaka merupakan kompleks megalitik yang terletak sekitar 350 m di sebelah barat situs Jabung. Di kompleks ini terdapat benteng seperti di kompleks Jabung dan Pugungraharjo. Struktur benteng terdiri dari gundukan tanah di luar parit bagian dalam, dan menyusul tanah gunduk di bagian paling dalam. Temuan terpenting dari kompleks ini adalah empat batu datar yang oleh penduduk dinamakan batu kursi, diatur berjajar membujur arah utara – selatan. Pada bagian bawah batu datar terdapat batu penyangga. Peninggalan megalitik ini berada di bagian bagian utara kompleks benteng (Indraningsih, 1985: 9).
Situs Meris berupa benteng tanah yang dikelilingi parit. Denah situs tidak beraturan terdiri satu halaman dengan luas sekitar 4,2 ha. Pada bagian dalam terdapat punden persegi yang hampir rata dengan tanah dengan sebaran batu-batu. Dilihat dari pola sebarannya, mungkin batu-batu tersebut merupakan makam dari masa Islam dengan orientasi utara – selatan. Selain itu di bagian barat terdapat sebaran batu besar seperti dolmen yang mempunyai seperti bentuk batu kandang. Pada bagian luar dua punden berundak (Triwuryani, 1998: 10 – 11).
Berdasarkan uraian perbandingan beberapa situs tersebut terdapat gambaran bahwa pada masa keratuan, pusat pemukiman berada pada anak sungai utama. Besaran situs lebih luas dari pada pemukiman pendukungnya. Di dalam pemukiman tersebut terdapat bangunan suci sebagai sarana aktifitas religi. Pada kasus Canguk Gaccak dan Pugungraharjo berupa bangunan megalitik.
Pemukiman Masa Pemerintahan Marga
Pada masa sistem pemerintahan marga berlaku di Lampung terdapat jenjang pemukiman Ketemenggungan yang membawahi beberapa kampung. Pemukiman Ketemenggungan dijumpai pada situs Benteng Minak Temenggung. Keberadaan situs Benteng Minak Temenggung berhubungan dengan etno-sejarah mengenai tokoh Minak Temenggung. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa Minak Temenggung adalah tokoh yang ada hubungannya dengan masyarakat Pagardewa. Sebagai tokoh besar Minak Temenggung memegang jabatan penting dalam membangun masyarakat Pagardewa di bawah naungan Kesultanan Banten. Selain tokoh Minak Temenggung, ada tokoh lainnya yaitu Minak Kerenggo. Tokoh ini merupakan penguasa benteng di sebarang sungai, sebelah timur Way Tulangbawang. Makamnya berada di Umbulan Tebing Suloh tepi sebelah barat Way Tulangbawang.
Situs Benteng Minak Temenggung berada di sebelah barat Way Tulangbawang, sebelah timur Kampung Penumangan. Secara administratif termasuk di dalam wilayah Kampung Penumangan, Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Tulangbawang. Berdasarkan gejala yang terlihat, benteng tersebut membujur dengan orientasi utara – selatan dengan panjang 600 hingga 800 m. Benteng terdiri dari dua gundukan tanah mengapit parit. Ujung utara benteng bermula pada Bawang Potat dan pada ujung selatan pada Bawang Bakon. Kawasan ini merupakan bagian paling hulu Way Tulangbawang, di sebelah hilinya merupakan pertemuan antara Way Kanan dan Way Kiri.
Pada bagian utara, antara kawasan benteng dan Way Tulangbawang terdapat makam Minak Temenggung dan Bawang Pukem. Makam Minak Temenggung berada di sebelah timur benteng. Di sebelah timur makam terdapat Bawang Pukem yang merupakan danau tapal kuda. Pada ujung utara benteng terdapat semacam sungai semusim yang berakhir di Bawang Pukem (Saptono, 2001: 19 – 20).
Berdasarkan keterkaitan antara situs Benteng Minak Temenggung dengan sistem pemerintahan marga terlihat bahwa situs tersebut merupakan pusat pemerintahan tertinggi di kawasan Lampung. Di tempat lain tidak pernah ditemukan adanya situs yang berkaitan dengan tokoh Temenggung atau Kerengga. Tokoh ini merupakan pejabat di bawah Sultan. Pemerintahan marga menurut Undang-undang Simbur Cahaya akan berkaitan erat dengan Kesultanan Palembang. Ketika Banten menguasai Lampung, mungkin sistem pemerintahan yang sudah berjalan tetap dipertahankan. Dengan demikian baik pada masa Kesultanan Palembang atau Kesultanan Banten pemukiman tersebut merupakan pusat pemerintahan Ketemenggungan, yaitu pemukiman pusat pemerintahan setingkat di bawah ibukota kesultanan.
Secara geografis lokasi situs Benteng Minak Temenggung yang berada pada bagian hilir pertemuan antara Way Kanan dan Way Kiri sangat strategis. Penempatan pada pertemuan dua sungai besar akan memudahkan dalam pola pertukaran yang bermanfaat bagi perkembangan pemukiman dan institusi pemerintahan itu sendiri. Pertukaran yang terjadi baik berupa pertukaran barang maupun informasi. Colin Renfrew dan Paul Bahn (1991: 310) serta Bugie Kusumohartono (1995: 105) mengacu pada Karl Polanyi menyatakan terdapat tiga model pertukaran yaitu reciprocity (timbal balik), redistribution (pembagian kembali), dan market exchange (pertukaran pasar). Pertukaran reciprocity adalah kewajiban memberi dan menerima di antara individu yang berbeda hubungan sosialnya. Pertukaran redistribution berkaitan dengan kewajiban membayarkan barang dan jasa kepada pemuka masyarakat, yang kemudian membagikan sebagian perolehannya untuk kepentingan umum atau hadiah. Sedangkan model market exchange, para pelakunya tidak memiliki ikatan sosial tertentu yang mewajibkan mereka untuk melakukan pertukaran dan dimungkinkan adanya tawar menawar di dalamnya. Pemukiman di situs Benteng Minak Temenggung akan memainkan ketiga model pertukaran tersebut.
Dilihat dari aspek keletakan geografisnya tergambar pola hubungan fungsional dendritic model Bronson. Model ini menggambarkan pola pemukiman mengikuti aliran sungai, dan membentuk sistem jaringan pertukaran barang model market exchange. Menurut asumsi Bennet Bronson, di daerah muara sungai akan ditemui pusat perdagangan. Di wilayah hulu, pada muara di mana sungai induk dimasuki dan ditemui anak sungai, akan ditemukan permukiman tingkat dua dan selanjutnya tingkat tiga. Di daerah paling hulu, di atas bentangan sungai terakhir yang dapat dilalui dengan alat angkutan air, akan ditemukan kelompok peramu yang bermatapencaharian mengumpulkan hasil hutan. Barang-barang komoditi ini disalurkan melalui permukiman tingkat tiga dan dua yang akhirnya sampai ke pusat perdagangan di daerah muara (Miksic, 1984: 10). Dihubungkan dengan pola pertukaran model market exchange dan pola dendritic model Bronson, tampak bahwa kawasan Benteng Minak Temenggung berperan sebagai pusat perdagangan yang menghubungkan antara kawasan pedalaman dengan daerah luar.
Jenjang di bawah pemukiman Ketemenggungan adalah kampung atau menurut istilah Lampung adalah tiyuh. Pada sepanjang sungai besar banyak dijumpai situs-situs pemukiman yang merupakan pemukiman tingkat marga. Situs-situs tersebut misalnya situs Benteng Sabut di aliran Way Kiri dan situs Batu Putih di aliran Way Kanan.
Situs Benteng Sabut berada di Kampung Gunungkatun, Kecamatan Tulang Bawang Udik (Saptono, 2002: 88 – 89). Secara geografis berada pada barat laut kelokan Way Kiri. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Sungai tersebut kemudian membelok ke arah timur dan bermuara di Way Kiri. Fetur benteng berupa cekungan (parit) dan gundukan tanah. Pada sisi utara terdapat cekungan memanjang dengan arah timur barat, bermula dari Way Kiri dan berakhir hingga Way Pikuk. Lebar cekungan sekitar 2 m dengan kedalaman bervariasi antara 0,5 – 1 m. Di sebelah selatan cekungan tersebut, berjarak sekitar 50 m terdapat benteng parit berdenah segi empat.
Parit sisi utara bermula dari Way Kiri ke arah barat sepanjang sekitar 100 m. Pada pertengahan terdapat bagian yang tidak digali dengan lebar sekitar 4 m. Parit sisi barat merupakan kelanjutan sisi utara. Parit membujur arah utara - selatan sepanjang sekitar 75 m. Parit sisi barat kemudian berbelok ke arah timur dan berakhir di Way Kiri. Parit sisi selatan ini sudah tidak begitu dalam, lebarnya juga susah dikenali lagi. Pada sisi timur merupakan aliran Way Kiri. Di sebelah selatan benteng parit terdapat makam kuna. Tokoh yang dimakamkan adalah Menak Sendang Belawan.
Situs Batu Putih berada di wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang (Saptono, 2006: 94). Situs berada di tepi sebelah selatan Way Kanan. Pada tepi sebelah selatan Way Kanan terdapat tanggul alam yang membujur dari arah timur laut (tepi Way Kanan) ke arah barat daya. Semakin ke arah barat daya tanggul alam tersebut semakin tinggi. Dengan adanya tanggul alam ini lokasi situs Batu Putih merupakan dataran limpah banjir yang sangat subur.
Pada bagian barat daya, di atas tanggul alam, terdapat makam Menak Pangeran Buay Sugih. Keadaan makam tanpa jirat dan sebelumnya juga tanpa nisan. Nisan yang ada sekarang merupakan nisan baru. Makam dilengkapi cungkup dari bahan bilik bambu. Di sekitar makam Menak Pangeran Buay Sugih, terutama di sebelah selatannya terdapat beberapa makam yang merupakan makam masyarakat. Indikator bekas pemukiman yang terdapat di situs Batu Putih berupa sebaran fragmen artefak.
Pemukiman di situs Benteng Sabut dibatasi parit dan benteng tanah, sedang di Batu Putih tidak dijumpai adanya parit dan benteng tanah, tetapi dibatasi sungai alam dan tanggul alam. Unsur yang sama dijumpai di kedua situs tersebut adalah makam tokoh utama. Adanya makam tokoh utama menggambarkan adanya perubahan dalam sistem religi masa pra-Islam yang ditandai dengan bangunan megalitik dengan masa Islam yang ditandai dengan makam tokoh utama. Secara substansial sistem religi yang berlangsung tetap sama yaitu unsur pemujaan kepada arwah leluhur.
Masyarakat yang tinggal dalam satu kampung mempunyai tanah garapan (ladang) yang disebut dengan istilah umbulan. Selama masa pengerjaan ladang mereka bermukim di lokasi itu. Permukiman yang ada pada umbulan cenderung bersifat sementara. Masyarakat Bandardewa di Tulangbawang mempunyai umbulan di Bakung Nyelai dan Jung Belabuh (Tim Penelitian, 2007: 19 – 21). Situs Bakung Nyelai berada di tepi Way Bakung Nyelai. Sungai ini merupakan anak Way Tulangbawang. Indikator aktivitas manusia pada masa lampau berupa fragmen keramik, fragmen tembikar, kaca, serta kerak besi. Sebaran artefak berada pada lahan seluas sekitar 3.600 m2. Situs Jung Belabuh berada di tepi Tulung Kalutum yang merupakan anak Way Miring. Luas situs sekitar 5 hektar, dibatasi benteng tanah dan parit. Umbulan ini sebelumnya adalah kampung Bandar Dewa, karena kondisinya tidak dapat berfungsi maksimal, maka masyarakat pindah ke kampung Bandar Dewa sekarang. Lokasi ini kemudian dijadikan umbulan. Di lokasi situs terdapat sebaran keramik dan tembikar dalam areal seluas sekitar 1.600 m2. Dilihat dari kedua situs umbulan tersebut, tergambar bahwa umbulan berada pada tepi anak sungai. Areal yang dihuni tidak terlalu luas. Meskipun umbulan hanya merupakan permukiman sementara, berdasarkan artefak yang ada menunjukkan adanya aktivitas beragam.
Simpulan
Masyarakat Lampung secara tradisional memiliki sistem pemerintahan sendiri yang disebut keratuan. Sistem pemerintahan ini diperkirakan berkembang setelah runtuhnya Kerajaan Tulangbawang atau pada masa Kerajaan Sriwijaya. Ketika Kesultanan Palembang menguasai sebagian besar Sumatera terbentuk sistem pemerintahan marga. Di Lampung sistem marga tetap berlangsung hingga masa kekuasaan Kesultanan Banten.
Pada masa pemerintahan keratuan pusat pemukiman cenderung berada di tepi anak sungai sedangkan desa yang merupakan pemukiman lebih kecil berada di tepian sungai besar. Model pemukiman ibukota keratuan dikelilingi benteng tanah dan parit. Pada pemukiman tersebut dilengkapi bangunan suci untuk kepentingan religi.
Pada sistem pemerintahan marga terdapat pemukiman ketemenggungan dan desa. Ketemenggungan merupakan pusat pemerintahan setingkat di bawah kesultanan. Di Lampung pemukiman ketemenggungan terdapat di hulu Way Tulangbawang. Pemukiman itu disebut Benteng Minak Temenggung. Keberadaan pada hulu sungai besar dekat dengan pertemuan dua sungai sangat strategis karena menunjang pola distribusi yang bermanfaat bagi keberlangsungan pemukiman tersebut.
Pada sepanjang sungai besar yang berada di wilayah hulu ketemenggungan dijumpai kampung-kampung sebagai pemukiman setingkat marga. Kampung tersebut dibatasi benteng tanah dan parit atau sungai alam. Unsur penting dalam pemukiman marga adalah makam tokoh utama. Keberadaan makam tokoh utama untuk memenuhi fungsi religi yang secara substansial berhubungan dengan pemujaan kepada arwah leluhur.
Umbulan sebagai permukiman terkecil biasanya berada di tepi anak sungai. Areal umbulan ada yang dibatasi benteng tanah dan parit, ada pula yang tidak berbenteng. Berdasarkan artefak yang terdeposisikan di situs umbulan, aktivitas masyarakat penghuninya juga berragam.
Daftar Pustaka
Alf, Achjarani. 1954. Ngeberengoh “Sedar”. Tanjungkarang.
Childe, V. Gordon. 1979. The Urban Revolution. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus, hlm. 12 – 17. Durham: Carolina Academic Press.
Flannery, Kent V. 1979. The Cultural Evolution of Civilizations. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus, hlm. 26 – 32. Durham: Carolina Academic Press.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Imron dan Iskandarsyah. 2002. Cerita Rakyat Daerah Lampung. Bandar Lampung: Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung.
Indraningsih, J. Ratna et al. 1985. Laporan Penelitian Arkeologi di Lampung. Berita Penelitian Arkeologi No. 33. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kusumohartono, Bugie. 1995. Model Pertukaran Pada Masyarakat Nusantara Kuna: Kajian (Pengujian) Arkeologis. Dalam Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi, Tahun XV, Edisi Khusus, 1995, hlm 105 – 110. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Melinting, Dalom Ratu. 1988. Adat Istiadat Lampung Melinting. Metro: Atlantik.
Miksic, John N. 1984. Penganalisaan Wilayah dan Pertumbuhan Kebudayaan Tinggi di Sumatra Selatan. Dalam Berkala Arkeologi V (1) Maret 1984, hlm. 9 – 24. Balai Arkeologi Yogyakarta.
Mintosih, Sri (et. al.) 1993. Sistem Pemerintahan Tradisional Daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rapoport, Amos. 1986. “Tentang Asal-usul Kebudayaan Permukiman”. Dalam Anthony J. Catanese, (et al.). Pengantar Sejarah Perencanaan Perkotaan, hlm. 21 – 44. Bandung: Intermedia.
Renfrew, Colin and Paul Bahn. 1991. Archaeology: Theories, Methods and Practice. London: Thames and Hudson.
Saptono, Nanang. 2001. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Ragam Aktifitas dan Rancang Bangun Benteng di Daerah Tulangbawang, Propinsi Lampung. Balai Arkeologi Bandung.
----------. 2002. Hubungan Fungsional Situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol. Dalam Agus Aris Munandar (ed). Jelajah Masa Lalu, hlm. 86 – 101. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
----------. 2006. Konsepsi dan Struktur Pemukiman di Situs Batu Putih, Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris Munandar (ed). Widyasancaya, hlm. 91 – 102. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Sevin, Olivier. 1989. History and Population. Dalam Transmigration, hlm. 13 – 123. Jakarta: ORSTOM – Departemen Transmigrasi Republik Indonesia.
Soebing, Abdullah A. 1988. Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress.
Soejono, R.P. (ed.). 1992. Jaman Prasejarah di Indonesia. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekatno, Endang Sh. 1985. Catatan Tentang Arca dari Masa Klasik dari Pugungraharjo, Lampung. Dalam Rapat EvaluasiHasil Penelitian Arkeologi II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuna. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penelitian. 2006. Laporan Penelitian Awal Situs-situs Keratuan di Propinsi Lampung. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung – Balai Arkeologi Bandung.
Tim Penelitian. 2007. Laporan Penelitian Arkeologi: Penelitian Arkeologi Permukiman Situs Bakung Nyelai dan Situs Jung Belabuh, Tulangbawang Tengah, Lampung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Triwuryani, RR. 1998. “Pola Persebaran Situs Benteng di Sepanjang DAS Sekampung: Ditinjau dari Kajian Wilayah”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Ujungpandang 20-26 September 1996. (belum diterbitkan).
Troe, Adnand (et all.). 1997. Menyelami Tulangbawang. Menggala: Pemerintah Kabupaten Tulangbawang dan Tulangbawang Enterprise.
Warganegara, Marwansyah. 1994. Riwayat Orang Lampung. (naskah tidak diterbitkan).
Wiryomartono, A. Bagoes P. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Yudha, Ahmad Kesuma. 1995. Perspektif Sosiologis Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang (belum diterbitkan).
Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di Buku Permukiman, Lingkungan, dan Masyarakat.
Editor Dr. Supratikno Rahardjo. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2007.
* Nanang Saptono, Peneliti bidang Arkeologi Permukiman pada Balai Arkeologi Bandung
Sumber: http://arkeologilampung.blogspot.com, 2 April 2008 dan Melayu Online, 1 November 2008
0 komentar:
Posting Komentar