Suku Ranau: Panjaga Lingkungan Danau
Minggu, 22 Februari 2009
Pagi yang sejuk, awal November lalu. Danau Ranau di Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, menawarkan pesona alam yang indah. Hamparan air yang biru menyatu dengan kaki Gunung Seminung, yang berdiri kokoh di tepi selatan danau, sedangkan puncak gunung diselimuti sebaris awan tipis.
Sebuah rumah di Desa Surabaya, Kecamatan Banding Agung, yang berada di tepian danau, sedang ramai. Ratusan orang berkumpul menyaksikan dua mempelai pengantin yang baru diarak. Tetabuhan tradisional dan organ tunggal dimainkan untuk memeriahkan pesta perkawinan itu.
Kedua mempelai duduk di pelaminan dengan ornamen adat. Mempelai lelaki, Mirhan, mengenakan penutup kepala yang disebut katek dengan ornamen bunga warna emas. Meski mengenakan setelan jas lengkap, dia masih memakai sarung setengah lutut dari kain songket warna ungu.
Mempelai perempuan, Meliana, memakai penutup kepala dengan bentuk serupa. Tubuhnya ditutup baju beludru berwarna merah maron dengan tekalan serta ikat pinggang berornamen emas. Orangtua kedua pengantin yang duduk bersebelahan juga mengenakan pakaian adat.
"Pengantin suku Ranau diharuskan mengenakan pakaian adat. Dulu lebih rumit, tetapi pakaian sekarang sudah lebih simpel. Biasanya pengantin lelaki memakai setelan jas dan dasi lengkap," kata Najmi Hamid (52) dari keluarga pengantin wanita.
Setelah semua tamu berkumpul, sejumlah wanita dewasa membawakan tarian selamat datang sambil berpantun, yang biasa disebut tari ngampoh. Tari itu membuka acara sambutan dari masing-masing keluarga. Kedua mempelai lantas diciprat-ciprati air khusus oleh tetua adat lelaki, kemudian oleh ibu-ibu yang melahirkan anak tanpa ada yang meninggal. Dua adat itu biasa disebut belimau dan sesikok.
Setelah acara resmi, kedua keluarga bersama tamu menikmati santap siang dengan menu khas Ranau. Puluhan tahun silam setiap keluarga yang menggelar hajatan menghidangkan menu utama ikan—yang ditangkap bersama dengan bubu, semacam sangkar penangkap ikan dari bambu. Bubu itu dipasang di danau pada malam hari oleh kedua keluarga sehari sebelum pesta.
"Sekarang makanan diganti dengan menu yang lebih praktis, yang dibeli dari pasar. Tetapi, cara menata makanan dan hiasan dinding di ruang makan dengan kain songket dan ornamen emas tetap berlaku," kata Syahrial (46), salah satu tokoh adat suku Ranau.
Pesta pernikahan merupakan salah satu dari banyak adat suku Ranau yang masih lestari sampai sekarang. Suku Ranau tinggal di tepian Danau Ranau seluas lebih kurang 44 kilometer persegi, yang diapit Gunung Seminung setinggi 1.880 meter di atas permukaan laut di bagian selatan dan Bukit Barisan yang melingkar di sebelah utara dan timur. Kawasan yang berjarak sekitar 375 kilometer dari Palembang itu dihuni sekitar 90.000 jiwa.
Jaga lingkungan
Selain pesta pernikahan, suku Ranau juga memiliki budaya unik lain, yang diatur dalam sistem pemerintahan marga selama ratusan tahun. Adat melarang keras perusakan lingkungan. Saat sistem marga masih berlaku, anggota suku dilarang keras merusak hutan larangan, antara lain hutan di kaki Gunung Seminung dan di kawasan Way Lelayah. Siapa pun yang melanggar akan dihukum berat.
Di sekitar danau terdapat 44 tempat keramat, yang sebagian diyakini sebagai makam leluhur atau tokoh legenda. Salah satunya, makam Si Pahit Lidah di Desa Sukabanjar, Kecamatan Talang Butung, yang masuk wilayah Kabupaten Lampung Barat. Masyarakat yang melintasi tempat-tempat tersebut tidak boleh ribut, kisruh, apalagi merusak lingkungan yang disucikan.
Hukum adat mewajibkan anggota suku menjaga air danau dari kerusakan, terutama seperti akibat penangkapan ikan dengan racun potas, jaring pukat, sengatan listrik, atau dinamit. Para nelayan yang menggantungkan hidup pada ikan di danau itu menjadi kelompok terdepan dalam menjaga lingkungan. Mereka menangkap ikan dengan cara-cara yang tak merusak, seperti menggunakan jaring tradisional, pancing, atau bubu.
Hingga kini sebagian nelayan masih ahli menangkap ikan dengan cara unik, yaitu menombak dan memanah ikan. Menombak ikan dilakukan baik dari sampan yang ditumpangi maupun dari tepi danau. Penombak biasanya berjalan atau mendayung sampannya sampai menemukan ikan besar yang tampak dari permukaan. Badan ikan itu lantas ditombak hingga tembus ke badannya, kemudian diambil.
"Hanya ikan-ikan besar yang bisa ditombak. Itu pun harus oleh seorang yang ahli dan air danau sedang jernih," kata Darpo (25), anggota suku Ranau yang tinggal di Kota Batu.
Memanah ikan lebih unik lagi. Pemanah menyiapkan panah yang dilontarkan dengan tali ban yang dihubungkan dengan pelatuk bergagang kayu. Pemanah menyelam hingga dasar danau sedalam 7-10 meter selama 2-3 menit untuk menunggu dan memanah ikan besar yang melintas. Setelah mendapat ikan, pemanah kembali menyembul ke permukaan.
"Kalau air sedang bening, saya bisa memanah 20-an ikan dengan hasil sampai Rp 100.000 per hari. Kalau air keruh, hasilnya kurang," kata Darul Qotni (32), pemanah ikan andal dari Desa Tanjung Agung.
Tradisi menombak dan memanah ikan yang masih lestari menunjukkan bahwa lingkungan Danau Ranau relatif terjaga. Kualitas air danau cukup baik, jernih, dan diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Danau itu juga menjadi habitat berbagai jenis ikan, seperti ikan nila, emas, pikuk, baung, palau, betuk, dan ikan semah. Ikan semah dari Danau Ranau cukup terkenal karena bisa mencapai bobot 25 kilogram per ekor.
Air Danau Ranau tidak pernah mengering dengan sumber air berasal dari Bukit Pesagi di Lampung, Gunung Seminung, dan Bukit Barisan. Ada 21 sungai alam yang airnya mengalir menuju danau itu. Air danau kemudian mengalir ke areal di bawahnya melalui Sungai Selabung, yang kemudian menyatu dengan Sungai Saka di Muara Dua. Air itu mengalir ke Sungai Komering, ke Sungai Ogan, dan akhirnya masuk ke Sungai Musi yang membelah Kota Palembang.
Perdamaian
Suku Ranau juga dikenal dengan adat menjaga perdamaian. Adat marga suku itu mengatur rinci penyelesaian konflik atau pertengkaran antarwarga.
Untuk menjaga konflik akibat rebutan warisan, adat memperkenalkan sistem pembagian warisan yang cukup lengkap. Meski pengaturan warisan di tangan anak tertua lelaki, pembagian tetap dilaksanakan melalui musyawarah keluarga besar dengan mempertimbangkan rasa keadilan dan kondisi ekonomi anggota keluarga.
Pertanian di sawah dan ladang oleh suku Ranau di Bukit Barisan juga memunculkan adat khas. Masyarakat terbiasa bergotong royong menanam dan memanen padi secara bergiliran, yang biasa disebut ketulungan. Saat tanaman padi mulai berbunga, pemiliknya menggelar sedekah yang disebut ngumbai.
Sumber: Kompas, Senin, 11 Desember 2006
0 komentar:
Posting Komentar